Minggu, 09 Desember 2012

Hubungan Internasional : Awal Mula Kajian Konflik dan Resolusi Konflik

Studi konflik mengemuka dalam dekade terakhir ini, terutama bersamaan dengan makin maraknya konflik horizontal antar ras, etnis, dan agama di wilayah suatu negara. Sangat ironis bahwa ketika konflik ideologi yang mewarnai era perang dingin telah mulai mereda, konflik-konflik ideologi yang mewarnai era perang dingin telah mulai mereda, konflik-konflik internal di dalam batas wilayah suatu masalah dalam bentuk gerakan separatis, insurgensi dan kerusuhan massal ternyata menelan korban manusia yang makin besar. Di Rwanda, Pada tahun 1994 dalam kurun waktu hanya 3 bulan sekitar 800 ribu sampai 1 juta manusia terbunuh-sebagian besar dari mereka kelompok minoritas Tutsi-dalam peristiwa genosida terbesar setelah Holocaust pada masa pemerintahan Nazi Jerman. Banyak diantara korban yang mati adalah kaum perempuan dan anak-anak.

Beberapa waktu sebelumnya, pembersihan etnis juga dilakukan oleh kaum Chauvinis Serbia terhadap kaum minoritas Bosnia di negara pecahan Yugoslavia. Peristiwa serupa terjadi pada skala yang lebih kecil di berbagai belahan dunia. tergerak oleh peningkatan tragedi kemanusiaan buatan manusia ( Man-made HUmanitarian Dissaster ), berbagai pihak ( pakar politik,ahli sosiologi, dan para pembuat keputusan di badan lokal maupun internasional) mulai memikirkan metode dan mekanisme resolusi konflik mantan pemimpin politik seperti Jimmy Carter ( Mantan Presiden AS ), Eduard Shevardnadze ( Mantan Menlu Soviet ), Marti Ahtisaari (Mantan Presiden Finlandi ), Olaf Palme ( Mantan PM Swedia ), dan Gareth Evans ( mantan Menlu Australia ) , misalnya, mempelopori gerakan studi resolusi konflik dengan mendirikan organisasi non-pemerintah internasional yang berspesialisasi pada studi konflk berikut upaya resolusinya. Selain menyebarkan ide perdamaian, organisasi - organisasi tersebut berpretensi untuk melakukan 3 macam mekanisme resolusi konflik yang meliputi Peace Keeping, Peace Making and Peace Building. Di Aceh misalnya, sebuah organisasi non pemerintah, Crisis Management International ( CMI ), telah berperan sebaia " Third Party Mediator " Dalam perundingan yang menghasilkan sebuah solusi demokratis terhadap konflik separatis yang telah berlangsung puluhan tahun.


Sumber : Sugeng Hadiwinata, Bob Transformasi isu dan aktor didalam studi hubungan internasional : dari realisme hingg konstruktivisme. Transformasi dalam studi Hubungan Internasional : Aktor, isu dan Metodologi. Graha ilmu, 2007

Hubungan Internasional : Awal Mula Kajian Keamanan Non-Tradisional

Isu keamanan non-tradisional mulai mengemuka pada akhir dekade 1990-an ketika sekelompok pakar yang dikenal dengan sebutan " The Copenhagen School " seperti Barry Buzan. Ole Waever dan Jaap de Wilde mencoba memasukkan aspek aspek diluar hirauan tradisional kajian keamanan - seperti misalnya masalah kerawanan pangan, kemiskinan, kesehatan, lingkungan hidup, perdagangan manusia, terorisme, bencana alam dan sebagainya Sebagai bagian dari studi keamanan. Ddengan memasukkan hal hal tersebut kedalam lingkup kajian keamanan, maka The Copenhagen School mencoba memperluas obyek rujukan isu keamanan dengan tidak lagi berbicara melulu keamanan "negara", tetapi juga menyangkut keamanan "manusia". Pandangan ini mengemuka sejak berakhirnya perang dingin yang ditandai dengan penurunan ancaman militer terhadap kedaulatan suatu negara, tetapi pada saat yang sama adanya peningkatan ancaman terhadap eksistensi manusia pada aspek aspek lain seperti kemiskinan, penyakit menular, bencana alam, kerusakan lingkungan hidup, terorisme dan sebagainya.

Kepedulian terhadap "keamanan manusia" ( Human Security ) semakin meningkat, terutama setelah laporan tahunan UNDP, Human Development Report 1994, Mencoba untuk mengetengahkan 7 dimensi yang patut dijadikan bahan pertimbangan untuk menciptakan " Keamanan Manusia "  yang mencakup :

1. Keamanan Ekonomi
2. Keamanan Pangan
3. Keamanan Kesehatan
4. Keamanan Lingkungan
5. Keamanan Individu
6. Keamanan Komunitas dan 7. Keamanan Politik.

Sejak saat itu perhatian terhadap isu keamanan manusia mulai melanda tidak saja para pakar tetapi pembuat keputusan. Berbagai tragedi kemanusiaan dalam beberapa dekade terakhir ini sejak dari bencana kelaparan di Ethiopia dan Somalia, pembersihan etnis di Bosnia dan Rwanda, gempa bumi di Iran, Turki dan Yogyakarta serta Tsunami di Aceh, hingga ke pelanggaran HAM di Sudan dan banyak tempat lainnya di dunia semakin meningkatkan dorongan untuk lebih memperhatikan keamanan manusia.

Namun demikian, terlepas dari makin besarnya keinginan untuk memasukkan konsep keamanan manusia sebagai agenda kebijakan, hingga saat ini belum ada kesepakatan mengenai bagaimana keamanan manusia itu harus dipahami dan bagaimana pula aplikasi konsep tersebut didalam politik praktis. Pemerintah Kanada, misalnya menerapkan suatu standar yang tinggi sekaligus kontroversial tentang penerapan konsep keamanan manusia dengan mensyaratkan adanya hak untuk melakukan " Intervensi Kemanusiaan " bagi siapapun ( negara adi kuasa, PBB maupun asosiasi atau aliansi negara-negara ) yang melihat adanya pelanggaran kemanusiaan. Intervensi kemanusiaan, menurut aliran pemikiran kanada, bahkan dapat menjustifikasi penggunaan kekerasan terhadap negara lain yang sengaja terbukti melakukan gangguan terhadap keamanan manusia. Sementara itu, pemerintah Jepang memberikan interpretasi yang lebih moderat tentang keamanan manusia dengan menyatakan bahwa upaya untuk melakukan perlindungan terhadap keamanan manusia harus memperhatikan sensitivitas terhadap negara. Maka, suatu intervensi kemanusiaan dapat dilakukan apabila mendapat dukungan mayoritas anggota komunitas internasional dan mendapat persetujuan dari pemerintah setempat.

Ekstensi konsep keamanan yang melibatkan unsur unsur non-tradisional seperti kemiskinan, bencana alam,penyakit menular,perdagangan manusia, perdagangan senjata ilegal,perdagangan narkoba, kerusakan lingkungan hidup, dan lain lain, telah membawa konsekuensi tersendiri bagi studi HI. Kebutuhan untuk menyentuh isu isu keamanan non-tradisional semakin memperkuat kebutuhan untuk memperhatikan aktor-aktor non-negara. Sebagaimana pernah saya katakan pada tulisan lain didalam konteks sekuritisasi, bahwa :
     The securitization of poverty has raised demand from non-state actors (NGOs) to be treated as a legitimate agencies in dealing with non-traditional issues. It posses a challenge as to the extent that the current security literature can accept the fact that NGOs can play an ipmortant role in providing security to a particular referent object, that is, the marginalized or the neglected.. As far as NGOs are concerned, the olution to poverty as a human security issue should lie beyond thestate boundaries,especially in the case of problematic or failed state   

Dengan demikian tampak bahwa perluasan jangkauan studi keamanan telah mendorong lembaga lembaga non-negara untuk ikut berperan dalam bidang bidang keamanan non-tradisional. Dalam keadaan tertentu, misalnya, Non Governmental-Organizations (NGOs) dapat melakukan sekuritisasi terhadap suatu isu (kerusakan lingkungan hidup, kemiskinan yang mengancam keamanan manusia, pelanggaran hak azasi manusia, dan sebagainya). Tetapi pada saat lain, organisasi non-pemerintah justru bertindak sebagai agen yang ikut memberikan solusi bagi berbagai masalah keamanan manusia, terutama negara tidak mampu lagi melakukan hal-hal tersebut. Sebagai contoh, Amnesti Internasional banyak berperan dalam menginvestigasi pelanggaran HAM terhadap penduduk sipil yang melibatkan pasukan pemberontak maupun pemerintah di negara-negara yang dilanda konflik internal seperti Ethiopia, Sudan, Sierra leone, Liberia dan sebagainya.


Sumber : Sugeng Hadiwinata, Bob Transformasi isu dan aktor didalam studi hubungan internasional : dari realisme hingg konstruktivisme. Transformasi dalam studi Hubungan Internasional : Aktor, isu dan Metodologi. Graha ilmu, 2007

Hubungan Internasional : Awal mula kajian politik-ekonomi dan organisasi internasional

Kajian politik-ekonomi internasional muncul sebagai sub-disiplin HI pada dekade 1970-an dan 1980-an bersamaan dengan bangkitnya kesadaan akan pentingnya peran perusahaan transnasional ( Transnational corporations) dalam perekonomian global. Di AS, Robert Gilpin- seorang guru besar politik dan masalah internasional di Universitas Princeton mencoba mengintegrasikan antara studi politik internasional ( yang memfokuskan pada peran kekuasaan dalam membentuk hubungan hubungan antar negara) dengan studi ekonomi internasional ( yang memfokuskan pada dinamika interaksi antara perusahaan perusahaan transnasional dan pasar global ). Di dalam bukunya U.S Power and Multinational Corporates, Gilpin menyatakan bahwa kiprah perusahaan transnasional di pasar global tidak bisa dipisahkan dari peran pemerintah AS dalam mempromosikan liberalisme dan ekonomi pasar. Sementara itu, didalam bukunya yang lain The political economy of international relations, Gilpin menyatakan bahwa dalam situasi dimana perekonomian pasar global makin terintegrasi, perdagangan makin terbuka, dan kiprahnya perusahaan transnasional yang makin nyata, maka upaya untuk memahami bagaimana Power dimanifestasikan di dalam hubungan antar bangsa para pengamat harus mengintegrasikan konsep konsep ekonomi dan ilmu politik.

Sementara itu, pada saat hampir bersamaan beberapa pakar HI mencoba untuk menghidupkan kembali perspektif " Neo-funsgionalisme ", yakni pendekatan yang mencoba untuk memfokuskan pada proses proses yang mengarah pada pengintegrasian kepentingan kepentingan antar negara yang dapat menuju pada regionalisme bahkan pembentukan kelompok kelompok supra-nasional tingkat global. Adalah Ernst Haas-guru besar hubungan internasional di Berkeley University yang mempromosikan gagasan bahwa proses integrasi dapat terjadi apabila masing masing negara dapat menyatukan kepentingan yang sama untuk mencapai tujuan bersama dengan membentuk organisasi supra-nasional pada tingkat regional maupun internasional. Tokoh neo-fungsionalis lainnya adalah Robert Keohane dan Joseph Nye. Bersama-sama mereka mencoba membalikkan pendapat Realisme yang menekankan pada independensi dan otoritas negara . Didalam tulisan bersama mereka Power and Interdependence: World Politics in Transition, Keohane dan Nye menyatakan bahwa dalam kondisi saling ketergantungan, dimana aktor aktor non-negara ikut berperan dalam politik-ekonomi global, penggunaan kekuatan militer-strategis menjadi kurang relevan karena hasil akhir sebuah " pertarungan kepentingan " adalah pengaruh ekonomi dan kontrol terhadap sumber daya dan teknologi.


Sumber : Sugeng Hadiwinata, Bob Transformasi isu dan aktor didalam studi hubungan internasional : dari realisme hingg konstruktivisme. Transformasi dalam studi Hubungan Internasional : Aktor, isu dan Metodologi. Graha ilmu, 2007

Sabtu, 08 Desember 2012

Hubungan Internasional : Awal Mula Kajian Militer-Strategis dan Diplomasi

Kajian Militer-strategis dan diplomasi dapat disebut sebagai tradisi di dalam disiplin HI, karena sejak awal kemunculan HI didesain untuk menemukan praktek dan tatacara hubungan antar-negara yang dapat menjamin keamanan dan ketertiban dunia. Sejalan dengan minat untuk memfokuskan perhatian pada masalah peperangan dan perdamaian, para peneliti HI banyak menyentuh tema-tema seperti strategi dan kebijakan pertahanan negara, terutama negara adi-kuasa seperti Amerika serikat dan kelompok negara " major power" seperti Uni eropa, Rusia, China dan Jepang. Pada masa perang dingin (1950-1990), kajian militer-strategis sangat populer di kalangan peneliti HI, terutama karena merebaknya perlombaan senjata antara blok barat ( AS dan Eropa barat) dan blok timur ( Uni Soviet dan Eropa Timur ).

Beberapa pakar seperti Edward H.Carr, Kenneth Waltz, Hans J. Morgnthau dan Raymond Aron - hanya untuk menyebut beberapa yang paling menonjol - menginspirasi para peneliti dengan karya karya mereka tentang berbagai dimensi perang dan damai. Karya Edward H.Carr yang paling populer adalah The Twenty Years Crisis (1946) yang untuk pertama kalinya mengangkat perbedaan pandangan antara berbagai perspektif didalam HI, terutama anatara "realisme" dan "Idealisme" atau Utopianisme. Kontribusi terbesar Kenneth Waltz tampak dalam karya monumentalnya berjudul Man, The State and War yang mencoba tiga alasan yang menyebabkan peperangan
1. hakikat manusia yang agresif dan haus akan kekuasaan
2. kondisi ekonomi-domestik negara yang kadangkala mendorong ekspansi dan kolonialisasi
3. Sistem internasional yang pada dasarnya bersifat anarkis ( tidak adanya pemimpin tunggal )

Sementara itu Hans J. Morgenthau seringkali disebut sebagai " The pope of international relations " karena kepiawaiannya dalam mengembangkan teori " Power Politics " yang menjadi dasar studi HI. Di dalam karyanya " Politics Among Nations ", Morgenthau menyatakan bahwa apapun sistem pemerintahannya, setiap negara bertindak dengan didasari dorongan untuk perjuangan demi kekuasaan dan politik kekuasaan adalah norma dasar didalam aktivitas hubungan antar negara. Sedangkan Raymond Aron adalah pakar HI yang menyatakan bahwa perang adalah bagian dari diplomasi. Di dalam karyanya Peace and War (1966), Aron menyatakan  bahwa hakikat politik kekuasaan membuat negara terpaksa melegitimasi kekerasan dan peperangan sebagai cara untuk memperoleh pengaruh atau kekuasaan.

Dalam Hal diplomasi dan politik luar negeri, peneliti HI tidak bisa melupakan peran penting pakar seperti George F.Kennan dan Henry Kissinger. Di dalam bukunya American Diplomacy , Kennan mengeluhkan kecendrungan diplomasi AS yang terlalu bernuansa " legalistik-moralistik" karena keterikatan sebagai bagian dari komunitas internasional. Dia menyarankan bahwa diplomasi seharusnya diabdikan untuk memaksimalisasi kepentingan nasional AS dalam hubungan antar bangsa. Sementara itu Kissinger - yang juga merupakan kolega Kennan - merupakan orang yang menerapkan realisme politik di dalam diplomasi AS dalam posisinya sebagai penasihat Presiden Nixon do bidang keamanan nasional dan kemudian menteri luar negeri. Mewarisi tradisi realsime yang sangat kuat, kissinger menekankan bahwa diplomasi dilakukan pada dua macam landasan
1. kepentingan negara menjustifikasi penggunaan instrumen kebijakan maupun militer untuk pencapaian kepentingan nasional
2. Tugas utama pemimpin negara - terutama super power adalah memanipulasi perimbangan kekuatan demi untuk ketertiban dunia
Pandangan semacam ini sempat menjadi mainstream disiplin HI terutama di AS sepanjang dekade 1960-an hingga 1980-an


Sumber : Sugeng Hadiwinata, Bob Transformasi isu dan aktor didalam studi hubungan internasional : dari realisme hingg konstruktivisme. Transformasi dalam studi Hubungan Internasional : Aktor, isu dan Metodologi. Graha ilmu, 2007


Rabu, 05 Desember 2012

Sejarah Studi Hubungan Internasional : Dari Filsafat-Hukum hingga ke Politik Ekonomi dan Sosiologi

Pada awal perkembangan studi HI, ekspansi eropa dan kebutuhan untuk mengkodifikasikan tatanan hubungan antar-negara ( yang kemudian melahirkan Treaty Westphalia pada tahun 1648 dan Treaty Utrecht pada tahun 1713 ) membuat HI lebih dekat pada ilmu hukum. Maka, teks HI yang sangat berpengaruh pada waktu itu adalah tulisan Jeremy Bentham berjudul Principles of Morals and Legislations (1794) yang menekankan pada prinsip utilitarianisme, yakni keyakinan bahwa akal sehat akan menuntun manusia untuk mengembangkan moralitas yang baik untuk patuh kepada ketentuan dan aturan yang berlaku.

ketakutan akan akbita perang dan dorongan untuk menghentikan segala bentuk konflik dan kekerasan telah mendekatkan disiplin HI dengan Filsafat hukum. Karya pemikir filsafat hukum internasional Hugo Grotius berjudul De Jurre Belli Ac Pacis ( Mengenai hukum peperangan dan perdamaian ) yang menolak peperangan untuk alasan apapun- sangat mempengaruhi paradigma HI tentang pentingnya kerjasama internasional. Teks lain yang juga sangat berpengaruh adalah karya pemikir filsafat Immanuel Kant berjudul Perpetual Peace ( 1782 ) yang menggarisbawahi pandngan Grotius bahwa perang dengan alasan apapun harus dihindari, karena hanya dengan cara itulah perdamaian abadi dapat ditegakkan. Sekalipun, Kant tidak menggunakan istilah " Internasional " didalam karya-karyanya, dia mencoba mengartikulasikan konsep perdamaian dunia dengan mendorong negara-negara untuk mensubordinasikan kedaulatan mereka dibawah kekuasaan " Pemerintah dunia ". Gagasan ini menempatkan Immanuel Kant sebagai salah satu pelopor aliran pemikiran idealisme atau utopianisme. Pemikiran Kant ini menginspirasi para pemimpin dunia pada awal abad ke 20 untuk mendirikan Liga Bangsa Bangsa ( League of Nations atau LBB ) demi untuk mewujudkan perdamaian abadi.

Kegagalan LBB memunculkan berbagai kritik dan bahkan kutukan terhadap idealisme. Para pengkritik idealisme menyayangkan bahwa retorika perdamaian yang dikemukakan oleh para pengikut Kant gagal memahami kenyataan bahwa hubungan internasional pada dasarnya adalah perebutan kekuasaan. Maka, Studi HI pun mulai dipengauhi oleh ilmu politik yang banyak bicara tentang perebutan kekuasaan, pencapaian kepentingan, bagaimana agar dapat mempengaruhi pihak lain, dan sebagainya. secara metodologis pun, disiplin HI mulai melengkapi diri tidak saja dengan analisis historis dan diskursif, melainkan juga ikut dipengaruhi oleh "Positivisme" dan "Behaviouralisme" yang menekankan pada pembentukan dan pengujian teori dalam rangka saintifikasi (pengilmiahan) ilmu sosial. Sebagaimana pernah dikatakan Edward Hallet Carr: Fakta ( di dalam studi HI ) tidak lebih dari sebuah kantong yang tidak akan pernah berdiri tegak kecualijika kita meletakan sesuatu di dalamnya. Adalah kerangka teoritis yang dapat membuat fakta-fakta dalam disiplin HI " berbunyi" dan "mengandung makna".

Sejak Sekitar dekade 1940-an, mazhab realisme ( yang sangat dipengaruhi oleh ilmu politik ) mulai menunjukan pengaruhnya. Karya Hans Morgenthau berjudul " The Politics Among Nations: The Struggle for Power And Peace (1948) merupakan referensi utama studi HI pada saat itu. Dalam karyanya itu Morgenthau mempersoalkan Immanuel Kant dan para pemikir HI yang pada umumnya telah gagal memahami "realitas" di dalam hubungan antar negara yang penuh dengan ambisi manusia untuk berperang dan menguasai orang lain. Morgenthau memulai dengan mendefinisikan "kekuasaa" sebagai hakikat manusia untuk mengontrol pikiran dan perbuatan orang lain. Tingkah laku negara menurut dia, merefleksikan perilaku individu, yakni upaya untuk memaksimalisasi pencapaian kepentingan nasional. Sejaland engan pemikiran Nicollo Machiavelli dan Thomas Hobbes yang meyakini bahwa hakikat manusiapada dasarnya adalah agresif-Morgenthau menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk menciptakan perdamaian dalam situasi semacam itu adalah membuat negara- negara bersiap-siap untuk brperang. Kesiapan untukberperang menimbulkan efek menakuti ( Deterence), sehingga dapat mengurungkan niat suatu negara untuk memulai serangan. Dengan demikian, perdamainan pun akan tercapai. Sejak saat itu, Realisme mendominasi studi HI dan semakin mendorong HI pada studi tentang diplomasi dan isu strategis-militer.

Pada dekade 1970-an, sejumlah pakar HI mulai memikirkan bagaimana negara-negara ( yang selalu didorong nafsu berperang) pada waktu yang sama tetap berkeinginan untuk melakukan kerjasama dengan negara lain. Robert Keohane dan Joseph Nye mengedit sebuah buku berjudul Transnational Relations and World Politics (1972) yang mencoba untuk menggambarkan bagaimana saling ketergantungan di bidang ekonomi telah endorong negara-negara untuk tetap menjalin kerjasama. Beberapa waktu kemudian, Robert Giplin menulis sebuah karya berjudul U.S Power and The Multinational Corporation (1975) yang mencoba untuk mengidentifikasi keberadaan-keberadaan perusahaan multinasional sebagai pelaku penting dalam mendorong negara-negara untuk terlibat dalam kerjasama ekonomi.

Melalui aktivitas perusahaan-perusahaan mutinasional, modal, barang dan jasa dapat saling dipertukarkan melewatibatas-batas negara dalam waktu relatif singkat. Sejak saat itu Ilmu Ekonomi mulai mempengaruhi studi HI dan di berbagai universitas terkemuka seperti Harvard University, Princeton University, Cambridge University, Oxford University dan The London School of Economics and Political Science mulai ditawarkan mata kuliah bernama International Political Economy ( Politik Ekonomi Internasional ). Literatur untuk mata kuliah inipun semakin lengkap dengan munculnya tulisan Robert Giplin berjudul The political Economy of International Relations (1987), buku Susan Strange berjudul  States and Markets : An Introduction to International Political Economy (1989), dan masih banyak lagi yang lainnya. Hingga saat ini, mata kuliah Politik Ekonomi Internasional merupakan matakuliah wajib setidaknya di beberapa jurusan HI di Indonesia.

Disiplin Sosiologi cenderung mempengaruhi dari sisi konsep dan teori. Tidak sedikit peneliti HI yang berupaya untuk memperkaya diri dengan konsep dan teori untuk menjelaskan suatu fenomena dan fakta HI melalui pengalaman studi literatur dan meminjam dari konsep dan teori Sosiologi. Sebagai contoh, dalam upaya untuk melihat karakter pemimpin suatu negara, beberapa peneliti HI meminjam Konsep "Pemimpin Karismatik" sosiolog Max Webber. Dalam kasus lain, seorang peneliti HI dapat saja meminjam konsep Emile Durkheim tentang "Ekstrimisme Agama" dalam upayanya untuk memahami konflik agama. disiplin lain seperti Anthropologi juga dapat membantu HI dengan cara ini. Seorang peneliti HI yang mencoba untuk memahami peran identitas etnis dalam mendorong pecahnya konflik kekerasan di daerah-daerah tertentu dapat meminjam konsep Antropologi tentang Ethnonationalism ( Nasionalisme Etnis ) atau Nasionalisme.

Melihat berbagai kemungkinan tersebut, maka tidak mengehrankan jika ada beberapa kalangan yang melihat HI sebagai suatu ilmu yang interdisiplinear bahkan multi-disiplinear. Terlepas dari apakah HI adalah ilmu yang Interdisiplinear atau bukan, harus ada semacam kesepakatan tentang isu-isu apa saja yang dewasa ini dapat dikategorikan sebagai bagian dari disiplin HI.

Sumber : Sugeng Hadiwinata, Bob Transformasi isu dan aktor didalam studi hubungan internasional : dari realisme hingg konstruktivisme. Transformasi dalam studi Hubungan Internasional : Aktor, isu dan Metodologi. Graha ilmu, 2007



Senin, 05 November 2012

Hakikat Hukum Internasional

Apa di benak kalian jika mendengar tentang hukum internasional ? apakah itu sebuah perangkat untuk mengatur laju hubungan antar negara ? apakah terdiri dari beberapa pasal - pasal ? siapa yang membuat ? efektifkah hukum internasional itu ? apa hukuman jika salah satu subyek hukum internasional ini melanggar peraturan ?
Mungkin inilah pertanyaan yang ada di benak kita sebagai mahasiswa yang baru mempelajari hukum internasional, kebanyakan beberapa mahasiswa, khususnya jurusan hubungan internasional, tidak terlalu banyak yang memperhatikan salah satu mata kuliah yang sangat penting ini, mengingat kebanyakan kawan - kawan lebih suka membicarakan hal-hal yang konspiratif, atau hanya menganalisa siapa yang terlibat dan apa yang ingin direbut dalam sebuah konflik atau kejadian internasional tetapi banyak yang bingung atau bahkan tidak tahu tentang bagaimana konflik-konflik internasional itu dapat diselesaikan, kesannya kalau dalam sebuah diskusi itu kita sudah puas jika hanya berbicara siapa yang terlibat, apa yang diperebutkan, teori apa yang dipakai ? tetapi apakah di diskusi itu terdapat sebuah penyelesaian yang konkrit ?
untuk menyelesaikan sebuah konflik atau masalah internasional tentunya ada standard atau landasan yang adil, dengan mempelajari hukum internasional lah kita bisa menemukan cara yang paling efektif dalam mengatasi masalah internasional.

apa itu hukum internasional ? dalam kepustakaan Indonesia terdapat dua istilah untuk menyebut materi yang dibahas ini, yakni hukum internasional dan hukum bangsa bangsa, sesuai dengan istilah asing yang kita kenal seperti " International Law" dan " Law of Nations".
Menurut Oppenheim hukum internasional meliputi dua bagian, yaitu Hukum Internasional Publik dan Hukum Perdata Internasional, Hukum Internasional Publik itulah yang disebut hukum bangsa-bangsa. Hukum Perdata Internasional pada prinsipya tidak merupakan sasaran pembahasan ini kecuali ditetapkan dalam " Law Making Treaty ".
Apa itu hukum internasional perdata ? hukum perdata internasional adalah kumpulan ketentuan hukum yang menyelesaikan masalah antar elemen elemen dunia yang tunduk pada dua atau lebih yurisdiksi yang berbeda. hukum perdata internasional juga bagian dari hukum antar tata hukum, yakni kumpulan ketentuan hukum yang menunjuk ketentuan hukum yang berlaku dalam hal suatu masalah tunduk pada yurisdiksi atau lebih.
Hukum Internasional adalah kumpulan ketentuan hukum yang berlakunya dipertahankan oleh masyarakat internasional ( External Power ), karena hukum internasional dinyatakan sebagai kumpulan ketentuan hukum, definisi ini menolak pendapat bahwa hukum internasional hanya sebagai moral internasional, moral adalah ketentuan yang mengatur tingkah laku orang yang timbul dai kesadaran orang itu sendiri dan berlakunya dipertahankan oleh orang itu sendiri ( Internal Power ), yakni hati nurani dan kesadaran, berbeda dengan external power seperti kekuasaan yang ada dalam masyarakat.
Austin menyatakan, bahwa hukum internasional sebenarnya bukanlah hukum,melainkan hanyalah moral internasional, pernyataan itu sesuai dengan pengartiannya bahwa hukum internasional sebagai "kumpulan ketentuan yang mengatur tingkah laku orang yang ditetapkan dan dipaksa oleh penguasa politik yang berdaulat ", unsur yang tidak dipenuhi itu ialah bahwa hukum internasional tidak ditetapkan dan dipaksakan oleh penguasa politik yang berdaulat.

Apa hubungan antara Hukum Internasional dan hukum nasional ? bagaimana dengan pengutamaan dua hukum tersebut ?
Ada 2 teori yaitu Monisme dan Dualisme, Monisme menyatakan bahwa hukum internasional dan hukum nasional masing masing merupakan dua aspek dari satu sistem hukum, Dualisme menyatakan bahwa hukum internasional dan hukum nasional masing masing merupakan dua sistem hukum yang berbeda, Triepel penganut dualisme menyatakan bahwa Hukum internasional berbeda dengan hukum nasional karena berbeda  subyek dan sumbernya, subyek hukum internasional adalah negara sedangkan subyek hukum nasional adalah  individu, disamping itu dikatakan berbeda sumber karena hukum internasional bersumber pada kehendak bersama atau kesepakatan negara-negara sedangkan hukum nasional bersumber pada kehendak dan kekuasaan negara. Penganut dualisme yang lain adalah Anzilloti yang menyatakan " Hukum Internasional dan hukum nasional itu berbeda Prinsip dasar, Hukum Internasional dilandasai "  Pacta Sunt Servanda "  yang artinya bahwa hukum internasional itu harus dihormati oleh pengakunya, sedangkan Hukum Nasional itu dilandasi bahwa peraturan perundang-undangan harus dipatuhi.
Bagaimana dengan Monisme ? Kelsen penganut Monisme menyatakan bahwa jika postulat fundamentalnya bertentangan dengan Hukum Internasional, maka hukum Internasional harus diutamakan, Jika postulat fundamentalnya bertentangn dengan hukum Nasional, maka hukum nasional harus diutamakan, Starke penganut Monisme  mengatakan bahwa " pemberian pengutamaan hukum nasional yang jumlahnya banyak mengacu pada jumlah negara dengan Hukum Internasional akan menyebabkan anarki dan akan menyebabkan ketergantungan hukum Internasional pada hukum nasional " dengan kata lain, jika hukum nasional berubah maka hukum intenasional harus berubah pula, kenyataan itu tidak berlaku karena hukum internasional berlaku tanpa tergantung dengan hukum nasional ( Konferensi London,1831 tentang pemberlakuan hukum internasional meskipun ada perubahan intern negara tsb. ). " Concept of Opposability "  ketentuan hukum nasional yang sesuai dengan ketentuan hukum internasional, secara sah dapat digunakan untuk menolak ketentuan hukum internasional, yang digunakan negara lain sebagai dasar tuntutan diperadilan Internasional. Dengan demikian Hukum nasional suatu negara dapat juga diutamakan berlakunya terhadap hukum internasional.
Perkembangan hukum internasional itu sebenarnya sudah ada pada zaman Mesir dan Yunani Kuno, tetapi yang berlaku sekarang adalah hukum internasional dalam 4 abad terakhir ini. dimulai dengan adanya perjanjian " Westphalia "  pada tahun 1648, perjanjian ini merupakan dasar perkembangan sistem negara modern di Eropa dan masyarakat internasional modern yang terdiri dari negara negara merdeka dan merupakan praktik dan kebiasaan hubungan antar negara eropa sejak waktu itu dan dipengaruhi oleh pendapat para yuris Eropa pada waktu itu. Adapun teori teori yang berkembang adalah ajaran hukum alam, positivisme dan ajaran modern. Ajaran hukum alam pada pokoknya menyatakan bahwa hukum itu hukum yang didiktekan oleh wahyu tuhan melalui manusia. Positivisme menyatakan hukum ditentukan oleh penguasa yang berdaulat. Ajaran modern menyatakan bahwa hukum adalah ketentuan yang disepakati berlakunya dalam masyarakat melalui penguasa masyarakat yang bersangkutan atau melalui kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat itu.

Nah, Sampai sini kita bisa memahami apa itu hukum internasional, apa artinya dan pembagiannya, bagaimana pengutamaan hukum internasional dalam hukum nasional dan bagaimana sejarah hukum internasional.
jadi kesimpulan terserah anda, apakah anda mau menjadi penganut monisme atau dualisme, apakah hukum internasional bisa diutamakan dalam hukum nasional ?

Selasa, 30 Oktober 2012

Pengertian Sebuah Negara dan Kegunaan Suatu Pengakuan Dari Negara Lain

Negara adalah suatu wadah yang legal dimana terdapat kekuasaan yang mengatur atas rakyat, sumber daya alam, pemerintahan dan sebagai penghubung elemen suatu masyarakat dengan masyarakat lain.
dengan kata lain untuk berhubungan atau membuat kesepakatan antara satu elemen negara dengan suatu negara, harus melalui negara tersebut
Dalam buku dasar- dasar ilmu politik ( Prof.Miriam Budiardjo ) ketentuan terjadinya suatu negara adalah terdapat Wilayah, Rakyat, Sistem pemerintahan dan Kedaulatan/ pengakuan dari negara lain.
Kenapa harus ada pengakuan dari negara lain ? sewaktu masa kolonialisme ( PD 2 ) banyak wilayah yang terjajah yang ingin memerdekakan diri nya sebagai negara yang berdaulat dan diakui di dunia Internasional karena banyak negara yang menjajah negara lain merasa berhak atas tanah jajahannya, dengan alasan belum adanya sistem yang mengatur tentang hubungan antar negara serta hukum - hukum yang berlaku sehingga interaksi antar negara tersebut tidak terkontrol dan tidak ada kekuatan suprasional di atas kedaulatan negara.
Alasan ini juga dipakai para penjajah atau imperialis akan kepentingan nasional mereka dimana mereka membutuhkan bahan bahan mentah untuk industri mereka yang lebih murah karena belum adanya konsep negara yang berdaulat dalam tanah jajahannya.

Setelah suatu negara bisa memerdekakan diri, apakah negara itu langsung merdeka ? secara De Jure iya, Secara De Facto ? tentu saja tidak, minimal negara itu harus mendapat pengakuan dari regional atau mempunyai kesamaan Ras, Suku, Agama, Nasib yang sama ( Bekas Terjajah ) dengan negara lain.

Tidak bisa kita tampikan bahwa di jaman modern ini menurut teori liberalisme David Mitrany, bahwa negara-negara di dunia bisa bekerja sama untuk menciptakan perdamaian dunia dan setiap negara mempunyai nilai plus dan minusnya, baik SDA maupun SDM jadi untuk memenuhi hal itu hendaknya setiap negara harus berinteraksi satu sama lain. Lantas, apa hubungannya dengan pengakuan dari negara lain ? Diadakannya pengakuan oleh negara lain terhadap negara baru bertujuan untuk mengawali dilaksanakannya hubungan secara formal antara negara yang mengakui dengan negara yang diakui. Dipandang dari sudut hukum internasional, pengakuan negara lain sangat penting bagi negara baru karena pengakuan negara lain dapat menimbulkan akibat–akibat hukum yaitu :
  1. Negara baru dapat diterima secara penuh sebagai anggota dalam pergaulan antar bangsa.
  2. Negara baru dapat melakukuan hubungan internasional atau dapat melaksanakan hubungan kerjasama dengan negara lain.
  3. Negara baru dapat dikatakan sebagai Internasional Person (Pribadi internasional) atau sebagai subyek hukum internasional.
Menurut Moore, suatu negara tanpa pengakuan bukanlah berarti negara itu tidak dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya, melainkan peranan pengakuan negara lain mengakibatkan negara yang diakui dapat menggunakan atribut negara yang bersangkuatan.
Fungsi pengakuan :
  1. Untuk tidak mengasingkan suatu kumpulan manusia dari hubungan internasional.
  2. Untuk menjamin kelanjutan hubungan internasional dengan jalan mencagah adanya kekosongan hukum yang dapat merugikan bagi kepentingan individu maupun hubungan antar bangsa.



Liberalisme Dalam Hubungan Internasional

Satu lagi teori dasar dalam ilmu Hubungan Internasional adalah Liberalisme. Liberalisme dapat dikatakan kebalikan dari Realisme. Jika Realisme memandang manusia dari segi negatif dan bersikap pesimis terhadap interaksi internasional, maka liberalisme sebaliknya. Liberalisme memandang manusia dari segi positif dan bersikap optimis dalam interaksinya antarnegara. Meski begitu, liberalisme sependapat dengan pandangan realisme bahwa tiap individu bersifat egois, berlomba untuk memenangkan kepentingannya masing-masing. Namun, yang berbeda adalah dalam cara pencapaiannya. Dalam liberalisme, terdapat beberapa konsep utama, yaitu keamanan bersama, international anarchy, Liga Bangsa-Bangsa, dan bahwa perang sama sekali tidak menguntungkan bagi manusia.
            Dalam liberalisme, individu merupakan aktor yang terpenting dalam hubungan internasional. Negara bukan aktor terpenting, karena negara ada yang mengatur, yaitu sekelompok individu. Tanpa individu-individu yang bergerak di sektor pemerintahan, negara tidak akan ”hidup”. Namun, dalam liberalisme, bukan hanya aktor yang berkecimpung dalam pemerintahan saja yang berperan, aktor non-state juga turut memegang peranan penting dalam hubungan internasional.
            Terdapat lima karakteristik dasar dalam liberalisme. Yang pertama, manusia selalu dipandang positif, pada dasarnya manusia itu baik dan suka mencari teman (kerja sama) daripada mencari lawan. Yang kedua, percaya tentang kemungkinan akan adanya kemajuan dalam hubungan internasional. Kemudian karakteristik yang selanjutnya yaitu, bahwa negara dikontrol oleh individu. Di sini berarti, jika perilaku negara dalam lingkup domestik baik, maka perilakunya dalam lingkup internasional pun juga baik. Yang berikutnya yaitu meningkatkan interdependensi (kerja sama), maka konflik dapat diminimalisir. Dan karakteristik yang terakhir yaitu manusia pada dasarnya baik dan mampu berpikir positif. Hal ini mirip dengan karakteistik yang pertama.
            Dari kelima karalteristik yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwamain agenda dari liberalism adalah perdamaian, dan kerja sama. Seperti apa yang dikemukakan oleh David Mitrany, bahwa negara-negara di dunia bisa bekerja sama untuk menciptakan perdamaian dunia (Mitrany, 1993).
            Perdamaian merupakan poin utama dalam liberalisme, seperti yang telah dijelaskan di atas. Atas dasar inilah para liberalis mencari cara untuk mengatur negara-negara di dunia agar tetap menjaga perdamaian. Namun, pada awalnya hal ini dirasa sulit, mengingat adanya sistem anarki pada hampir setiap negara. Seperti yang kita ketahui, anarki berarti tidak adanya kekuatan supranasional di atas kekuatan negara. Hingga pada akhirnya sistem anarki ini bisa diatasi dengan kerjasama, bahwa suatu negara tidak dapat hidup tanpa bantuan negara lain. Oleh karena itu, dibentuklah suatu organisasi yang diharapkan mampu menjaga perdamaian di dunia, yaitu Liga Bangsa-Bangsa atau League of Nations. Hal ini mirip dengan apa yang pernah diidamkan oleh Immanuel Kant dan tertera dalam bukunya, A Working Peace System. Kant menginginkan adanya adanya World Givernment atau negara dunia dan perlunya diciptakan collective security untuk menjaga perdamaian dunia. Namun saying, baru beberapa tahun, berjalan, LBB kemudian dibubarkan karena dianggap tidak mampu menjalankan fungsinya, terbukti dengan meletusnya Perang Dunia ke 2.
            Dalam ilmu Hubungan Internasional, liberalisme ada beberapa macam, yaitu Liberal Institutionalism, Liberal Internationalism, dan Idealism. Dalam Liberal Institutionalism,dikemukakan beberapa konsep, yang pertama bahwa aktor bersifat plural. Jadi, negara bukanlah satu-satunya aktor, masih banyak aktor lain selain negara. Kemudian, integrasi dan kerja sama antarnegara dapat mengurangi konflik dan dapat menyelesaikan masalah bersama. Selanjutnya, apabila terdapat suatu kerja sama dalam satu sektor, maka akan bermunculan bentuk kerja sama lain di lain sektor. Liberalisme ini disebut juga sebagai liberalisme interdependensi. Kemudian, dalam Liberal Internasionalism memiliki konsep yang salah satunya adalah, bahwa interdependensi atau kerja sama dua pihak dalam bidang ekonomi dapat memperkuat perdamaian. Di Amerika, liberalisme seirng juga disebut dengan idealism, namun ternyata dia mempunyai konsep sendiri, meski konsep dasarnya sama. Dalam idealism, disebutkan bahwa perdamaian tidak terjadi begitu saja, namun harus diciptakan oleh collective security atau keamanan umum yang sifatnya berlaku untuk selamanya. Kemudian, apa yang terjadi dalam tatanan nasional suatu negara juga terjadi atau ada dalam tatanan internasional.
            Pada intinya, liberalism sangat menjunjung tinggi perdamaian. Agar perdamaian terwujud, yang dibutuhkan adalah adanya kerja sama antarnegara dalam berbagai sektor. Dengan adanya kerja sama, maka negara tidak perlu berperang dengan negara lain untuk mendapatkan kepentingannya.

Referensi :
Jackson, Robert, dan Georg Sorensen, 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional   (terj. Dadan Suryadipura, Introduction to International Relations). Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Wardhani, Baiq. “Teori Hubungan Internasional : Liberalisme.” dalam kuliah Teori Hubungan Internasional. Universitas Airlangga, Surabaya. 15 Maret 2012.
http://mentari_rasfi-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-43696-Theories%20of%20International%20Relations-Liberalisme%20Dalam%20Hubungan%20Internasional.html

Antara Neo-Liberalisme dengan Neo-Realisme

 Kata ”neo” yang terdapat dari Neo-liberalisme dan Neo-realisme berarti ”baru”. Ini berarti, bahwa kedua perspektif tersebut, yakni neo-liberalisme dan neo-realisme merupakan perspektif yang baru, dalam artian mereka memperbaharui perspektif-perspektif pendahulu mereka, yaitu liberalisme  (neo-classical liberalism) dan realisme (neo-classical realism). Jika sebelumnya liberalisme berpandangan bahwa anarki bisa diatasi dengan kerja sama, maka dalam neo-liberalisme, kaum neo-liberalis setidaknya mulai memperhatikan tentang kekuatan anarki. Begitu pula dengan realisme, yang sebelumnya berpandangan bahwa kerja sama tidak diperlukan dalam interaksi internasional, dalam neo-realisme mereka mulai mau membuka mata mereka untuk melakukan kerja sama. Bila pada awalnya Realisme dan Liberalisme hanya memandang dari segi image manusia, namun pada neo-realisme dan neo-liberalisme mereka juga memandang dari segi perilaku manusia. Kedua perspektif ”neo” ini muncul sekitar Perang Dingin. Munculnya bentuk baru dari liberalisme dan realisme ini tidak lepas dari pengaruh munculnya perspektif Behavioralisme. Behavioralisme merupakan suatu perspektif yang berpandangan bahwa ilmu sosial seperti Hubungan Internasional dan ilmu-ilmu lain bisa dijelaskan dan diteliti secara ilmiah, seperti halnya dengan ilmu alam. Msekipun disebut dengan perdebatan, namun di sini perdebatan ini bukanlah perdebatan antara 2 perspektif yang saling berbeda, melainkan lebih kepada berbagi pengetahuan yang mereka miliki.
            Seperti pada realisme, Neo-realisme masih memandang bahwa negara merupakan unsur yang terpenting dalam suatu hubungan internasional. Tujuan utama mereka dari hubungan internasional yaitu untuk mendapatkan keamanan dan agar tetap bertahan. Tentu saja, keamanan dan pertahanan di sini ditujukan untuk negara. Ini berarti, bahwa keamanan dan pertahanan yang dicari semata-mata untuk kepentingan negara, agar negara bisa tetap eksis dalam lingkup internasional. Salah satu tokoh neo-realis yang terkenal yaitu Kenneth Waltz. Sedangkan neo-liberalisme lebih fokus kepada integrasi regional dan mengurangi konflik. Kegagalan kaum liberalis dalam membentuk Liga Bangsa-Bangsa tidak membuat nyali mereka ciut dalam mengahadapi kritik dari kaum realis dan neo-realis. Salah satu bentuk dari integrasi regional kaum neo-liberalis yaitu Uni Eropa. Di sini, seolah-olah semua negara di Eropa melebur jadi satu, batas negara menjadi transparan, dan mata uang mereka diseragamkan, menjadi Euro (kecuali Inggris yang masih mempunyai hak menggunakan Poundsterling). Tokoh neo-liberalis yang terkenal yaitu Keohane dan Joseph Nye.
            Dalam debat ini, terdapat enam poin penting yang menjadi fokus. Pertama, sistem anarki. Kedua perspektif sama-sama mengakui adanya sistem anarki dalam negara. Menurut neo-realis, kepentingan yang utama dari sistem anarki yang harus dipenuhi sebagai tujuan utama yaitu pertahanan negara. Namun, hal itu disanggah oleh kaum neo-liberalis, bahwa kaum neo-realis telah mengabaikan international interdepence.
            Kedua, International Cooperation. Kedua perspektif dapat menerima konsep ini, namun ada perbedaan di antara keduanya. Kaum neo-realis masih sulit untuk menerapkan kerja sama, mereka berpendapat bahwa kerja sama itu sifatnya relatif, tidak pasti, karena pasti ada maksud tersembunyi di balik kerja sama itu. Sedangkan menurut kaum neo-liberalis, kerja sama itu bersifat absolut.
            Poin yang ketiga yaitu Gain atau keuntungan. Penjelasannya hampir sama dengan poin kedua di atas. Bagi kaum neo-realis, gain bersifat relatif. Mereka berpendapat bahwa pasti ada salah satu pihak yang mendapat untung lebih, dan itu dianggap curang, tidak baik. Oleh karena itu, mereka memfokuskan diri kepada distribusi keuntungan di antara semua anggota transaksi, agar pembagian keuntungan dapat merata. Sedangkan bagi kaum neo-liberalis, mereka berpendapat bahwa gain bersifat absolut. Sehingga mereka hanya fokus kepada keseluruhan manfaat dari transaksi yang ditimbulkan dari kerja sama dan dapat dinikmati bersama.
            Poin keempat, yaitu tujuan negara. Kedua perspektif ini sepakat untuk memiliki tujuan yang sama, yaitu pertahanan negara dan kesejahteraan ekonomi, namun ada beberapa hal yang berbeda. Kaum neo-realis berpendapat bahwa tujuan utama mereka dalam hubungan internasional yaitu agar negara dapat tetap menunjukkan eksistensinya. Sedangkan kaum neo-liberalis, kerja sama masih merupakan hal terpenting. Lewat kerja sama lah mereka dapat memenuhi kebutuhan mereka.
            Poin kelima, Intention and Capabilities. Dalam hal ini, kaum neo-realis berpendapat bahwa capabilities (kemampuan )harus diarahkan kepada hal-hal yang berbau militer dan keamanan. Sedangkan capabilities bagi neo-liberalis, mereka mempunyai rasa percaya yang tinggi terhadap aktor lain dalam suatu kerja sama.
            Poin yang terakhir, yaitu Institutions and Regime. Pada neo-realis, institusi dan rezim yang dianutnya terpengaruh oleh national interest negara. Sedangkan pada neo-liberalis, hal itu tidak terjadi.





Referensi :
1. Dugis, Vinsensio. “Teori Hubungan Internasional : Perdebatan Neo-Liberalisme dengan Neo-Realisme.” dalam kuliah Teori Hubungan Internasional. Universitas Airlangga, Surabaya. 22 Maret 2012.

2. Jackson, Robert, dan Georg Sorensen, 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional   (terj. Dadan Suryadipura, Introduction to International Relations). Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

3. http://mentari_rasfi-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-48850-Theories%20of%20International%20Relations-Antara%20NeoLiberalisme%20dengan%20NeoRealisme.html

Marxisme dan Strukturalisme Dalam Teori Hubungan Internasional

Setelah liberalisme dan realisme, ada satu lagi perspektif yang terkenal dan cukup berpengaruh, tidak hanya dalam Hubungan Internasional, namun dalam ilmu-ilmu sosial lain, yaitu Marxisme. Perspektif marxisme diambil dari nama pencetusnya, yaitu Karl Marx, seorang filsuf Jerman penganut sosialis. Tujuan utama dari perspektif ini yaitu penghapusan kelas-kelas dalam kehidupan masyarakat. Dengan tidak adanya kelas, maka kesenjangan hidup antara kaum proletar dengan kaum borjuis akan berkurang. Namun, hal ini menyebabkan keraguan timbul di kalangan pemikir lain. Apakah kelas bisa dihilangkan seutuhnya? Hingga saat ini pun kelas-kelas itu masih ada. Bahkan, dalam hubungan internasional, kelas masih sangat terlihat, terbukti dengan dominasi negara-negara borjuis dalam interaksi internasional. Maksud dari marxisme memang ingin menggerakkan suatu revolusi di mana kelas-kelas dihilangkan seutuhnya, namun para kaum marxis tidak mampu menjelaskan apa yang akan terjadi setelah revolusi itu muncul.
            Perspektif Marxisme muncul pada sekitar abad ke 19. Hal ini berawal dari pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels bahwa masalah-masalah sosial yang timbul di masyarakat sebagian besar diakibatkan oleh adanya sistem kapitalisme. Dalam kapitalisme, masyarakat dibagi ke dalam dua kelas, yaitu kelas borjuis (yang memiliki alat produksi atau orang kaya) dan kaum proletar (yang tidak memiliki alat produksi atau orang miskin). Karena jumlah kaum proletar jauh lebih banyak daripada kaum borjuis, maka kaum borjuis memanfaatkan ini untuk mengeksploitasi kaum proletar dengan mempekerjakan mereka dengan upah yang minim. Hal ini membuat Marx memandang manusia itu matrealistis, namun selama made of production itu selalu ada, maka penghapusan kelas akan menjadi sesuatu yang sulit.
            Berbeda dengan perspektif sebelumnya, realisme dan liberalisme yang terpusat pada power dan national interest, marxisme hanya berfokus pada ekonomi, aspek material, dan kesetaraan kelas. Karena perhatiannya pada kesetaraan kelas itulah yang kemudian mendorong Marx untuk menulis buku yang berjudul Des Capital sebagai kritik terhadap kesenjangan sosial yang ditimbulkan oleh kapitalisme.
            Kemudian, strukturalisme atau neo-marsime, muncul sebagai pembaharuan dari marxisme. Strukturalisme mengkritik kaum marxis yang terlalu utopis, mereka sangat menginginkan kelas-kelas yang ada dalam masyarakat dihilangkan, meski itu hampir mustahil untuk diwujudkan. Selain itu, kelemahan marxisme adalah penekanan masalahnya hanya terbatas pada dunia domestik, bukan internasional. Namun meski begitu, strukturalisme tetap berbasis pada pemikiran-pemikiran dasar marxisme.

Referensi :
1. Dugis, Vinsensio. “Teori Hubungan Internasional : Perdebatan Neo-Liberalisme dengan Neo-Realisme.” dalam kuliah Teori Hubungan Internasional. Universitas Airlangga, Surabaya. 22 Maret 2012.

2. Jackson, Robert, dan Georg Sorensen, 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional   (terj. Dadan Suryadipura, Introduction to International Relations). Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

3. http://mentari_rasfi-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-48851-Theories%20of%20International%20Relations-Marxisme%20dan%20Strukturalisme%20Dalam%20Teori%20Hubungan%20Internasional.html

Rasionalisme - English School of Thought

Perdebatan-perdebatan besar (Great Debates) yang terjadi antara perspektif satu dengan yang lain seringkali berlangsung lama dan berakhir dengan seri, atau tidak ada pihak yang menang maupun kalah. Di antara perspektif yang terlibat dalam perdebatan besar tersebut, yaitu liberalisme dengan realisme. Bahkan hingga saat ini perdebatan antara kedua belah pihak ini masih terus berlanjut. Di antara kedua perspektif yang sedang berdebat ini, muncullah sebuah penengah, yaitu English School of Thought. English School ini merupakan sebuah istilah yang dicetuskan oleh Roy Jones pada tahun 1970-an, untuk menyebut sebuah kelompok pemikiran British di mana mereka menggunakan teori International Society atau Masyarakat Internasional sebagai pemikiran utama mereka. Dalam perdebatan yang terjadi antara realisme dan liberalisme, rasionalisme mengambil jalan tengah, dengan cara mengambil elemen-elemen yang terbaik dari kedua perspektif tersebut. Para pemikir utama dalam English School antara lain seperti Martin Wight, Hedley Bull, Barry Buzan, dan lain-lain.
            Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa pemikiran utama English School adalah mengenai Masyarakat Internasional. mereka berpandangan bahwa Hubungan internasional tidak hanya dipandang dari hubungan antar negara saja , tetapi harus melihat sistem global secara keseluruhan. Selain itu, English School juga sangat mengutamakan moralitas dan HAM sebagai dasar fundamental dalam masyarakat internasional.
            Dalam pemikirannya, English School menggunakan perspektif Rasionalisme. Rasionalisme berasal dari kata “ratio” yang berarti akal. Mereka beranggapan bahwa kebenaran berasal dari akal pikiran. Ini berarti, perspektif rasionalisme berdasarkan pada pemikiran yang rasional, pemikiran yang masuk akal dengan cara mengambil solusi yang terbaik untuk menyelesaikan suatu konflik atau masalah. Dalam Hubungan Internasional, rasionalisme digunakan untuk menjelaskan perilaku aktor. Karena rasionalisme sangat mementingkan norma-norma, moralitas dan hak asasi manusia.
Kemunculan rasionalisme bertujuan untuk memberi jalan tengah antara realisme dan liberalisme. Itu karena rasionalisme tidak menyetujui pandangan yang diberikan oleh masing-masing realisme dan liberalisme. Para rasionalis mengkritik liberalisme dan realisme dengan cara ”menggabungkan” beberapa elemen dari perspektif mereka untuk dijadikan sebuah perspektif baru. Rasionalisme mengambil elemen-elemen yang terbaik di antara realisme dan liberalisme guna mendapatkan solusi terbaik untuk menjelaskan fenomena hubungan internasional. Oleh karena itu, rasionalisme juga disebut sebagai via media antara realisme dan liberalisme.
            Sebagai via media, rasionalisme mengambil beberapa elemen dari realisme dan liberalisme dengan tidak memihak kepada salah satu dari keduanya. Rasionalisme mengakui adanya aktor non-state atau aktor individual dalam hubungan internasional, namun bagi mereka, yang memegang peranan sebagai main actor tetap negara. Sistem anarki tetap diakui, namun mereka tetap menganggap penting interaksi antar negara. Oleh karena itu, mereka percaya terhadap adanya masyarakat internasional. Di sini, terdapat anarki internasional, namun tidak ada pemerintahan dunia. Anarki internasional hanyalah sebuah kondisi sosial di mana terdapat suatu politik dunia. Oleh karena itu, para rasionalis sangat menginginkan adanya suatu hukum internasional yang bisa mengatur masyarakat internasional.
            Rasionalisme menjadi via media bagi realisme dan liberalisme karena rasionalisme tidak setuju dan mengkritik beberapa konsep dalam realisme dan liberalisme. Selain menyumbangkan kritikan kepada liberalis dan realis, rasionalisme pun tak luput dari kritik oleh pihak lain. Michael Joseph Oakeshott, seorang filsuf inggris, menyebutkan bahwa rasionalisme tidak mempunyai negative capability (oakeshott, 1962). Hal ini dikarenakan rasionalisme selalu mencari jalan yang ”terbaik” di antara dua perdebatan.


Referensi :

1. Dunne, Tim, 2007. The English School, in; Tim Dunne, Milja Kurki & Steve Smith (eds.) International Relations Theories, Oxford University Press, pp. 127-147.
Linklater, Andrew, 2001. Rationalism, in; Scott Burchill, et al, Theories of International Relations, Palgrave, pp. 103-128.

2. Jackson, Robert & Sorensen, Georg, 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional   (terj. Dadan Suryadipura, Introduction to International Relations). Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

3. http://mentari_rasfi-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-48852-Theories%20of%20International%20Relations-Rasionalisme%20%20English%20School%20of%20Thought.html

Critical Theory - Frankfurt School of Thought

Critical Theory atau Teori Kritis bisa dibilang merupakan teori yang baru dalam ilmu Hubungan Internasional dibandingkan dengan teori-teori lain. Teori Kritis sebenarnya bukan lahir dari ilmu Hubungan Internasional, melainkan dari ilmu Sosiologi dan merupakan perkembangan dari Marxisme. Teori ini baru memasuki ranah HI pada sekitar tahun 1980-an. Teori ini dikembangkan dari pemikiran sekelompok ilmuwan Jerman, yang disebut Frankfurt School. Disebut Teori Kritis, karena metode yang digunakan dalam teori ini adalah reflektif, yaitu mengkritik terus menerus. Meski begitu, teori ini bukan merupakan suatu problem solving atau alat pemecah masalah seperti Rasionalisme. Selain itu, teori ini juga disebut-sebut sebagai pendobrak tradisi lama, mendobrak kemapanan perspektif-perspektif tradisionalis, seperti Realisme, Liberalisme, dan Marxisme. Kemunculan teori ini kemudian mendorong lahirnya banyak teori-teori baru yang belum pernah ada sebelumnya, seperti Feminisme, Green Theory, dan lain-lain.
            Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa Teori Kritis merupakan perkembangan dari Marxisme, namun teori ini tidak sama dengan Neo-Marxisme. Meski dikatakan sebagai turunan dari Marxisme, Teori Kritis hanya mengambil unsur emansipasi atau kebebasan dari Marxisme, tidak seperti Neo-Marxisme, yang di dalamnya masih banyak terdapat unsur-unsur Marxisme. Beberapa perbedaan antara Teori Kritis dengan Neo-Marxisme, yang pertama, Neo-Marxisme hanya berfokus seputar kapitalisme, ekonomi, dan produksi. Sedangkan Teori Kritis berfokus pada semua aspek. Kedua, sama seperti Marxisme, Neo-Marisme masih bersifat tradisionalis, sedangkan Teori Kritis bersifat scientific.
            Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa Teori Kritis mengambil unsur emansipasi dari Marxisme, yang kemudian dijadikan asumsi utama dari teori ini. Asumsi-asumsi dasar dari teori ini, beberapa di antaranya dipengaruhi oleh unsur emansipasi tersebut. Asumsi dasar pertama, manusia bersifat tidak bisa dihalangi oleh negara. Negara banyak bersifat abuse, atau penyalahgunaan. Penyalahgunaan di sini maksudnya, menurut Teori Kritis, negara sering menyalahgunakan tenaga rakyatnya untuk kepentingan negara itu sendiri. Maka dari itu, mereka harus mempunyai kekuatan untuk melawan negara. Kedua, Teori Kritis menentang bahwa topik utama dalam hubungan internasional hanyalah pencarian kekuasaan. Masih banyak isu-isu lain yang juga penting. Ketiga, para penganut teori ini menentang adanya pemisahan subjek dan objek dalam suatu penelitian ilmiah. Menurut mereka, subjek atau orang yang meneliti, juga merupakan bagian dari penelitian itu, sama dengan objek.
            Ternyata, selain mengkritik teori dan perspektif lain, Teori Kritis ini juga mendapat banyak kritikan dari perspektif lain. Karena fokusnya kepada emansipasi, hal ini berarti teori ini berfokus pada individu dan komunitas atau group society. Inilah yang memunculkan beberapa kritik, karena teori ini tidak memperhatikan adanya cross society. Selain itu, Teori Kritis hanya bisa mengkritik teori dan perspektif lain, namun tidak bisa menjadi suatu problem solving atau alat pemecah masalah yang muncul dalam berbagai isu di hubungan internasional.



Referensi :

Wardhani, Baiq. “Teori Hubungan Internasional : Critical Theory dan Frankfurt School.” dalam kuliah Teori Hubungan Internasional. Universitas Airlangga, Surabaya. 12 April 2012.
Jackson, Robert, dan Georg Sorensen, 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional   (terj. Dadan Suryadipura, Introduction to International Relations). Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
http://mentari_rasfi-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-48853-Theories%20of%20International%20Relations-Critical%20Theory%20%20Frankfurt%20School%20of%20Thought.html