Selasa, 30 Oktober 2012

Pengertian Sebuah Negara dan Kegunaan Suatu Pengakuan Dari Negara Lain

Negara adalah suatu wadah yang legal dimana terdapat kekuasaan yang mengatur atas rakyat, sumber daya alam, pemerintahan dan sebagai penghubung elemen suatu masyarakat dengan masyarakat lain.
dengan kata lain untuk berhubungan atau membuat kesepakatan antara satu elemen negara dengan suatu negara, harus melalui negara tersebut
Dalam buku dasar- dasar ilmu politik ( Prof.Miriam Budiardjo ) ketentuan terjadinya suatu negara adalah terdapat Wilayah, Rakyat, Sistem pemerintahan dan Kedaulatan/ pengakuan dari negara lain.
Kenapa harus ada pengakuan dari negara lain ? sewaktu masa kolonialisme ( PD 2 ) banyak wilayah yang terjajah yang ingin memerdekakan diri nya sebagai negara yang berdaulat dan diakui di dunia Internasional karena banyak negara yang menjajah negara lain merasa berhak atas tanah jajahannya, dengan alasan belum adanya sistem yang mengatur tentang hubungan antar negara serta hukum - hukum yang berlaku sehingga interaksi antar negara tersebut tidak terkontrol dan tidak ada kekuatan suprasional di atas kedaulatan negara.
Alasan ini juga dipakai para penjajah atau imperialis akan kepentingan nasional mereka dimana mereka membutuhkan bahan bahan mentah untuk industri mereka yang lebih murah karena belum adanya konsep negara yang berdaulat dalam tanah jajahannya.

Setelah suatu negara bisa memerdekakan diri, apakah negara itu langsung merdeka ? secara De Jure iya, Secara De Facto ? tentu saja tidak, minimal negara itu harus mendapat pengakuan dari regional atau mempunyai kesamaan Ras, Suku, Agama, Nasib yang sama ( Bekas Terjajah ) dengan negara lain.

Tidak bisa kita tampikan bahwa di jaman modern ini menurut teori liberalisme David Mitrany, bahwa negara-negara di dunia bisa bekerja sama untuk menciptakan perdamaian dunia dan setiap negara mempunyai nilai plus dan minusnya, baik SDA maupun SDM jadi untuk memenuhi hal itu hendaknya setiap negara harus berinteraksi satu sama lain. Lantas, apa hubungannya dengan pengakuan dari negara lain ? Diadakannya pengakuan oleh negara lain terhadap negara baru bertujuan untuk mengawali dilaksanakannya hubungan secara formal antara negara yang mengakui dengan negara yang diakui. Dipandang dari sudut hukum internasional, pengakuan negara lain sangat penting bagi negara baru karena pengakuan negara lain dapat menimbulkan akibat–akibat hukum yaitu :
  1. Negara baru dapat diterima secara penuh sebagai anggota dalam pergaulan antar bangsa.
  2. Negara baru dapat melakukuan hubungan internasional atau dapat melaksanakan hubungan kerjasama dengan negara lain.
  3. Negara baru dapat dikatakan sebagai Internasional Person (Pribadi internasional) atau sebagai subyek hukum internasional.
Menurut Moore, suatu negara tanpa pengakuan bukanlah berarti negara itu tidak dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya, melainkan peranan pengakuan negara lain mengakibatkan negara yang diakui dapat menggunakan atribut negara yang bersangkuatan.
Fungsi pengakuan :
  1. Untuk tidak mengasingkan suatu kumpulan manusia dari hubungan internasional.
  2. Untuk menjamin kelanjutan hubungan internasional dengan jalan mencagah adanya kekosongan hukum yang dapat merugikan bagi kepentingan individu maupun hubungan antar bangsa.



Liberalisme Dalam Hubungan Internasional

Satu lagi teori dasar dalam ilmu Hubungan Internasional adalah Liberalisme. Liberalisme dapat dikatakan kebalikan dari Realisme. Jika Realisme memandang manusia dari segi negatif dan bersikap pesimis terhadap interaksi internasional, maka liberalisme sebaliknya. Liberalisme memandang manusia dari segi positif dan bersikap optimis dalam interaksinya antarnegara. Meski begitu, liberalisme sependapat dengan pandangan realisme bahwa tiap individu bersifat egois, berlomba untuk memenangkan kepentingannya masing-masing. Namun, yang berbeda adalah dalam cara pencapaiannya. Dalam liberalisme, terdapat beberapa konsep utama, yaitu keamanan bersama, international anarchy, Liga Bangsa-Bangsa, dan bahwa perang sama sekali tidak menguntungkan bagi manusia.
            Dalam liberalisme, individu merupakan aktor yang terpenting dalam hubungan internasional. Negara bukan aktor terpenting, karena negara ada yang mengatur, yaitu sekelompok individu. Tanpa individu-individu yang bergerak di sektor pemerintahan, negara tidak akan ”hidup”. Namun, dalam liberalisme, bukan hanya aktor yang berkecimpung dalam pemerintahan saja yang berperan, aktor non-state juga turut memegang peranan penting dalam hubungan internasional.
            Terdapat lima karakteristik dasar dalam liberalisme. Yang pertama, manusia selalu dipandang positif, pada dasarnya manusia itu baik dan suka mencari teman (kerja sama) daripada mencari lawan. Yang kedua, percaya tentang kemungkinan akan adanya kemajuan dalam hubungan internasional. Kemudian karakteristik yang selanjutnya yaitu, bahwa negara dikontrol oleh individu. Di sini berarti, jika perilaku negara dalam lingkup domestik baik, maka perilakunya dalam lingkup internasional pun juga baik. Yang berikutnya yaitu meningkatkan interdependensi (kerja sama), maka konflik dapat diminimalisir. Dan karakteristik yang terakhir yaitu manusia pada dasarnya baik dan mampu berpikir positif. Hal ini mirip dengan karakteistik yang pertama.
            Dari kelima karalteristik yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwamain agenda dari liberalism adalah perdamaian, dan kerja sama. Seperti apa yang dikemukakan oleh David Mitrany, bahwa negara-negara di dunia bisa bekerja sama untuk menciptakan perdamaian dunia (Mitrany, 1993).
            Perdamaian merupakan poin utama dalam liberalisme, seperti yang telah dijelaskan di atas. Atas dasar inilah para liberalis mencari cara untuk mengatur negara-negara di dunia agar tetap menjaga perdamaian. Namun, pada awalnya hal ini dirasa sulit, mengingat adanya sistem anarki pada hampir setiap negara. Seperti yang kita ketahui, anarki berarti tidak adanya kekuatan supranasional di atas kekuatan negara. Hingga pada akhirnya sistem anarki ini bisa diatasi dengan kerjasama, bahwa suatu negara tidak dapat hidup tanpa bantuan negara lain. Oleh karena itu, dibentuklah suatu organisasi yang diharapkan mampu menjaga perdamaian di dunia, yaitu Liga Bangsa-Bangsa atau League of Nations. Hal ini mirip dengan apa yang pernah diidamkan oleh Immanuel Kant dan tertera dalam bukunya, A Working Peace System. Kant menginginkan adanya adanya World Givernment atau negara dunia dan perlunya diciptakan collective security untuk menjaga perdamaian dunia. Namun saying, baru beberapa tahun, berjalan, LBB kemudian dibubarkan karena dianggap tidak mampu menjalankan fungsinya, terbukti dengan meletusnya Perang Dunia ke 2.
            Dalam ilmu Hubungan Internasional, liberalisme ada beberapa macam, yaitu Liberal Institutionalism, Liberal Internationalism, dan Idealism. Dalam Liberal Institutionalism,dikemukakan beberapa konsep, yang pertama bahwa aktor bersifat plural. Jadi, negara bukanlah satu-satunya aktor, masih banyak aktor lain selain negara. Kemudian, integrasi dan kerja sama antarnegara dapat mengurangi konflik dan dapat menyelesaikan masalah bersama. Selanjutnya, apabila terdapat suatu kerja sama dalam satu sektor, maka akan bermunculan bentuk kerja sama lain di lain sektor. Liberalisme ini disebut juga sebagai liberalisme interdependensi. Kemudian, dalam Liberal Internasionalism memiliki konsep yang salah satunya adalah, bahwa interdependensi atau kerja sama dua pihak dalam bidang ekonomi dapat memperkuat perdamaian. Di Amerika, liberalisme seirng juga disebut dengan idealism, namun ternyata dia mempunyai konsep sendiri, meski konsep dasarnya sama. Dalam idealism, disebutkan bahwa perdamaian tidak terjadi begitu saja, namun harus diciptakan oleh collective security atau keamanan umum yang sifatnya berlaku untuk selamanya. Kemudian, apa yang terjadi dalam tatanan nasional suatu negara juga terjadi atau ada dalam tatanan internasional.
            Pada intinya, liberalism sangat menjunjung tinggi perdamaian. Agar perdamaian terwujud, yang dibutuhkan adalah adanya kerja sama antarnegara dalam berbagai sektor. Dengan adanya kerja sama, maka negara tidak perlu berperang dengan negara lain untuk mendapatkan kepentingannya.

Referensi :
Jackson, Robert, dan Georg Sorensen, 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional   (terj. Dadan Suryadipura, Introduction to International Relations). Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Wardhani, Baiq. “Teori Hubungan Internasional : Liberalisme.” dalam kuliah Teori Hubungan Internasional. Universitas Airlangga, Surabaya. 15 Maret 2012.
http://mentari_rasfi-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-43696-Theories%20of%20International%20Relations-Liberalisme%20Dalam%20Hubungan%20Internasional.html

Antara Neo-Liberalisme dengan Neo-Realisme

 Kata ”neo” yang terdapat dari Neo-liberalisme dan Neo-realisme berarti ”baru”. Ini berarti, bahwa kedua perspektif tersebut, yakni neo-liberalisme dan neo-realisme merupakan perspektif yang baru, dalam artian mereka memperbaharui perspektif-perspektif pendahulu mereka, yaitu liberalisme  (neo-classical liberalism) dan realisme (neo-classical realism). Jika sebelumnya liberalisme berpandangan bahwa anarki bisa diatasi dengan kerja sama, maka dalam neo-liberalisme, kaum neo-liberalis setidaknya mulai memperhatikan tentang kekuatan anarki. Begitu pula dengan realisme, yang sebelumnya berpandangan bahwa kerja sama tidak diperlukan dalam interaksi internasional, dalam neo-realisme mereka mulai mau membuka mata mereka untuk melakukan kerja sama. Bila pada awalnya Realisme dan Liberalisme hanya memandang dari segi image manusia, namun pada neo-realisme dan neo-liberalisme mereka juga memandang dari segi perilaku manusia. Kedua perspektif ”neo” ini muncul sekitar Perang Dingin. Munculnya bentuk baru dari liberalisme dan realisme ini tidak lepas dari pengaruh munculnya perspektif Behavioralisme. Behavioralisme merupakan suatu perspektif yang berpandangan bahwa ilmu sosial seperti Hubungan Internasional dan ilmu-ilmu lain bisa dijelaskan dan diteliti secara ilmiah, seperti halnya dengan ilmu alam. Msekipun disebut dengan perdebatan, namun di sini perdebatan ini bukanlah perdebatan antara 2 perspektif yang saling berbeda, melainkan lebih kepada berbagi pengetahuan yang mereka miliki.
            Seperti pada realisme, Neo-realisme masih memandang bahwa negara merupakan unsur yang terpenting dalam suatu hubungan internasional. Tujuan utama mereka dari hubungan internasional yaitu untuk mendapatkan keamanan dan agar tetap bertahan. Tentu saja, keamanan dan pertahanan di sini ditujukan untuk negara. Ini berarti, bahwa keamanan dan pertahanan yang dicari semata-mata untuk kepentingan negara, agar negara bisa tetap eksis dalam lingkup internasional. Salah satu tokoh neo-realis yang terkenal yaitu Kenneth Waltz. Sedangkan neo-liberalisme lebih fokus kepada integrasi regional dan mengurangi konflik. Kegagalan kaum liberalis dalam membentuk Liga Bangsa-Bangsa tidak membuat nyali mereka ciut dalam mengahadapi kritik dari kaum realis dan neo-realis. Salah satu bentuk dari integrasi regional kaum neo-liberalis yaitu Uni Eropa. Di sini, seolah-olah semua negara di Eropa melebur jadi satu, batas negara menjadi transparan, dan mata uang mereka diseragamkan, menjadi Euro (kecuali Inggris yang masih mempunyai hak menggunakan Poundsterling). Tokoh neo-liberalis yang terkenal yaitu Keohane dan Joseph Nye.
            Dalam debat ini, terdapat enam poin penting yang menjadi fokus. Pertama, sistem anarki. Kedua perspektif sama-sama mengakui adanya sistem anarki dalam negara. Menurut neo-realis, kepentingan yang utama dari sistem anarki yang harus dipenuhi sebagai tujuan utama yaitu pertahanan negara. Namun, hal itu disanggah oleh kaum neo-liberalis, bahwa kaum neo-realis telah mengabaikan international interdepence.
            Kedua, International Cooperation. Kedua perspektif dapat menerima konsep ini, namun ada perbedaan di antara keduanya. Kaum neo-realis masih sulit untuk menerapkan kerja sama, mereka berpendapat bahwa kerja sama itu sifatnya relatif, tidak pasti, karena pasti ada maksud tersembunyi di balik kerja sama itu. Sedangkan menurut kaum neo-liberalis, kerja sama itu bersifat absolut.
            Poin yang ketiga yaitu Gain atau keuntungan. Penjelasannya hampir sama dengan poin kedua di atas. Bagi kaum neo-realis, gain bersifat relatif. Mereka berpendapat bahwa pasti ada salah satu pihak yang mendapat untung lebih, dan itu dianggap curang, tidak baik. Oleh karena itu, mereka memfokuskan diri kepada distribusi keuntungan di antara semua anggota transaksi, agar pembagian keuntungan dapat merata. Sedangkan bagi kaum neo-liberalis, mereka berpendapat bahwa gain bersifat absolut. Sehingga mereka hanya fokus kepada keseluruhan manfaat dari transaksi yang ditimbulkan dari kerja sama dan dapat dinikmati bersama.
            Poin keempat, yaitu tujuan negara. Kedua perspektif ini sepakat untuk memiliki tujuan yang sama, yaitu pertahanan negara dan kesejahteraan ekonomi, namun ada beberapa hal yang berbeda. Kaum neo-realis berpendapat bahwa tujuan utama mereka dalam hubungan internasional yaitu agar negara dapat tetap menunjukkan eksistensinya. Sedangkan kaum neo-liberalis, kerja sama masih merupakan hal terpenting. Lewat kerja sama lah mereka dapat memenuhi kebutuhan mereka.
            Poin kelima, Intention and Capabilities. Dalam hal ini, kaum neo-realis berpendapat bahwa capabilities (kemampuan )harus diarahkan kepada hal-hal yang berbau militer dan keamanan. Sedangkan capabilities bagi neo-liberalis, mereka mempunyai rasa percaya yang tinggi terhadap aktor lain dalam suatu kerja sama.
            Poin yang terakhir, yaitu Institutions and Regime. Pada neo-realis, institusi dan rezim yang dianutnya terpengaruh oleh national interest negara. Sedangkan pada neo-liberalis, hal itu tidak terjadi.





Referensi :
1. Dugis, Vinsensio. “Teori Hubungan Internasional : Perdebatan Neo-Liberalisme dengan Neo-Realisme.” dalam kuliah Teori Hubungan Internasional. Universitas Airlangga, Surabaya. 22 Maret 2012.

2. Jackson, Robert, dan Georg Sorensen, 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional   (terj. Dadan Suryadipura, Introduction to International Relations). Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

3. http://mentari_rasfi-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-48850-Theories%20of%20International%20Relations-Antara%20NeoLiberalisme%20dengan%20NeoRealisme.html

Marxisme dan Strukturalisme Dalam Teori Hubungan Internasional

Setelah liberalisme dan realisme, ada satu lagi perspektif yang terkenal dan cukup berpengaruh, tidak hanya dalam Hubungan Internasional, namun dalam ilmu-ilmu sosial lain, yaitu Marxisme. Perspektif marxisme diambil dari nama pencetusnya, yaitu Karl Marx, seorang filsuf Jerman penganut sosialis. Tujuan utama dari perspektif ini yaitu penghapusan kelas-kelas dalam kehidupan masyarakat. Dengan tidak adanya kelas, maka kesenjangan hidup antara kaum proletar dengan kaum borjuis akan berkurang. Namun, hal ini menyebabkan keraguan timbul di kalangan pemikir lain. Apakah kelas bisa dihilangkan seutuhnya? Hingga saat ini pun kelas-kelas itu masih ada. Bahkan, dalam hubungan internasional, kelas masih sangat terlihat, terbukti dengan dominasi negara-negara borjuis dalam interaksi internasional. Maksud dari marxisme memang ingin menggerakkan suatu revolusi di mana kelas-kelas dihilangkan seutuhnya, namun para kaum marxis tidak mampu menjelaskan apa yang akan terjadi setelah revolusi itu muncul.
            Perspektif Marxisme muncul pada sekitar abad ke 19. Hal ini berawal dari pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels bahwa masalah-masalah sosial yang timbul di masyarakat sebagian besar diakibatkan oleh adanya sistem kapitalisme. Dalam kapitalisme, masyarakat dibagi ke dalam dua kelas, yaitu kelas borjuis (yang memiliki alat produksi atau orang kaya) dan kaum proletar (yang tidak memiliki alat produksi atau orang miskin). Karena jumlah kaum proletar jauh lebih banyak daripada kaum borjuis, maka kaum borjuis memanfaatkan ini untuk mengeksploitasi kaum proletar dengan mempekerjakan mereka dengan upah yang minim. Hal ini membuat Marx memandang manusia itu matrealistis, namun selama made of production itu selalu ada, maka penghapusan kelas akan menjadi sesuatu yang sulit.
            Berbeda dengan perspektif sebelumnya, realisme dan liberalisme yang terpusat pada power dan national interest, marxisme hanya berfokus pada ekonomi, aspek material, dan kesetaraan kelas. Karena perhatiannya pada kesetaraan kelas itulah yang kemudian mendorong Marx untuk menulis buku yang berjudul Des Capital sebagai kritik terhadap kesenjangan sosial yang ditimbulkan oleh kapitalisme.
            Kemudian, strukturalisme atau neo-marsime, muncul sebagai pembaharuan dari marxisme. Strukturalisme mengkritik kaum marxis yang terlalu utopis, mereka sangat menginginkan kelas-kelas yang ada dalam masyarakat dihilangkan, meski itu hampir mustahil untuk diwujudkan. Selain itu, kelemahan marxisme adalah penekanan masalahnya hanya terbatas pada dunia domestik, bukan internasional. Namun meski begitu, strukturalisme tetap berbasis pada pemikiran-pemikiran dasar marxisme.

Referensi :
1. Dugis, Vinsensio. “Teori Hubungan Internasional : Perdebatan Neo-Liberalisme dengan Neo-Realisme.” dalam kuliah Teori Hubungan Internasional. Universitas Airlangga, Surabaya. 22 Maret 2012.

2. Jackson, Robert, dan Georg Sorensen, 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional   (terj. Dadan Suryadipura, Introduction to International Relations). Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

3. http://mentari_rasfi-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-48851-Theories%20of%20International%20Relations-Marxisme%20dan%20Strukturalisme%20Dalam%20Teori%20Hubungan%20Internasional.html

Rasionalisme - English School of Thought

Perdebatan-perdebatan besar (Great Debates) yang terjadi antara perspektif satu dengan yang lain seringkali berlangsung lama dan berakhir dengan seri, atau tidak ada pihak yang menang maupun kalah. Di antara perspektif yang terlibat dalam perdebatan besar tersebut, yaitu liberalisme dengan realisme. Bahkan hingga saat ini perdebatan antara kedua belah pihak ini masih terus berlanjut. Di antara kedua perspektif yang sedang berdebat ini, muncullah sebuah penengah, yaitu English School of Thought. English School ini merupakan sebuah istilah yang dicetuskan oleh Roy Jones pada tahun 1970-an, untuk menyebut sebuah kelompok pemikiran British di mana mereka menggunakan teori International Society atau Masyarakat Internasional sebagai pemikiran utama mereka. Dalam perdebatan yang terjadi antara realisme dan liberalisme, rasionalisme mengambil jalan tengah, dengan cara mengambil elemen-elemen yang terbaik dari kedua perspektif tersebut. Para pemikir utama dalam English School antara lain seperti Martin Wight, Hedley Bull, Barry Buzan, dan lain-lain.
            Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa pemikiran utama English School adalah mengenai Masyarakat Internasional. mereka berpandangan bahwa Hubungan internasional tidak hanya dipandang dari hubungan antar negara saja , tetapi harus melihat sistem global secara keseluruhan. Selain itu, English School juga sangat mengutamakan moralitas dan HAM sebagai dasar fundamental dalam masyarakat internasional.
            Dalam pemikirannya, English School menggunakan perspektif Rasionalisme. Rasionalisme berasal dari kata “ratio” yang berarti akal. Mereka beranggapan bahwa kebenaran berasal dari akal pikiran. Ini berarti, perspektif rasionalisme berdasarkan pada pemikiran yang rasional, pemikiran yang masuk akal dengan cara mengambil solusi yang terbaik untuk menyelesaikan suatu konflik atau masalah. Dalam Hubungan Internasional, rasionalisme digunakan untuk menjelaskan perilaku aktor. Karena rasionalisme sangat mementingkan norma-norma, moralitas dan hak asasi manusia.
Kemunculan rasionalisme bertujuan untuk memberi jalan tengah antara realisme dan liberalisme. Itu karena rasionalisme tidak menyetujui pandangan yang diberikan oleh masing-masing realisme dan liberalisme. Para rasionalis mengkritik liberalisme dan realisme dengan cara ”menggabungkan” beberapa elemen dari perspektif mereka untuk dijadikan sebuah perspektif baru. Rasionalisme mengambil elemen-elemen yang terbaik di antara realisme dan liberalisme guna mendapatkan solusi terbaik untuk menjelaskan fenomena hubungan internasional. Oleh karena itu, rasionalisme juga disebut sebagai via media antara realisme dan liberalisme.
            Sebagai via media, rasionalisme mengambil beberapa elemen dari realisme dan liberalisme dengan tidak memihak kepada salah satu dari keduanya. Rasionalisme mengakui adanya aktor non-state atau aktor individual dalam hubungan internasional, namun bagi mereka, yang memegang peranan sebagai main actor tetap negara. Sistem anarki tetap diakui, namun mereka tetap menganggap penting interaksi antar negara. Oleh karena itu, mereka percaya terhadap adanya masyarakat internasional. Di sini, terdapat anarki internasional, namun tidak ada pemerintahan dunia. Anarki internasional hanyalah sebuah kondisi sosial di mana terdapat suatu politik dunia. Oleh karena itu, para rasionalis sangat menginginkan adanya suatu hukum internasional yang bisa mengatur masyarakat internasional.
            Rasionalisme menjadi via media bagi realisme dan liberalisme karena rasionalisme tidak setuju dan mengkritik beberapa konsep dalam realisme dan liberalisme. Selain menyumbangkan kritikan kepada liberalis dan realis, rasionalisme pun tak luput dari kritik oleh pihak lain. Michael Joseph Oakeshott, seorang filsuf inggris, menyebutkan bahwa rasionalisme tidak mempunyai negative capability (oakeshott, 1962). Hal ini dikarenakan rasionalisme selalu mencari jalan yang ”terbaik” di antara dua perdebatan.


Referensi :

1. Dunne, Tim, 2007. The English School, in; Tim Dunne, Milja Kurki & Steve Smith (eds.) International Relations Theories, Oxford University Press, pp. 127-147.
Linklater, Andrew, 2001. Rationalism, in; Scott Burchill, et al, Theories of International Relations, Palgrave, pp. 103-128.

2. Jackson, Robert & Sorensen, Georg, 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional   (terj. Dadan Suryadipura, Introduction to International Relations). Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

3. http://mentari_rasfi-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-48852-Theories%20of%20International%20Relations-Rasionalisme%20%20English%20School%20of%20Thought.html

Critical Theory - Frankfurt School of Thought

Critical Theory atau Teori Kritis bisa dibilang merupakan teori yang baru dalam ilmu Hubungan Internasional dibandingkan dengan teori-teori lain. Teori Kritis sebenarnya bukan lahir dari ilmu Hubungan Internasional, melainkan dari ilmu Sosiologi dan merupakan perkembangan dari Marxisme. Teori ini baru memasuki ranah HI pada sekitar tahun 1980-an. Teori ini dikembangkan dari pemikiran sekelompok ilmuwan Jerman, yang disebut Frankfurt School. Disebut Teori Kritis, karena metode yang digunakan dalam teori ini adalah reflektif, yaitu mengkritik terus menerus. Meski begitu, teori ini bukan merupakan suatu problem solving atau alat pemecah masalah seperti Rasionalisme. Selain itu, teori ini juga disebut-sebut sebagai pendobrak tradisi lama, mendobrak kemapanan perspektif-perspektif tradisionalis, seperti Realisme, Liberalisme, dan Marxisme. Kemunculan teori ini kemudian mendorong lahirnya banyak teori-teori baru yang belum pernah ada sebelumnya, seperti Feminisme, Green Theory, dan lain-lain.
            Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa Teori Kritis merupakan perkembangan dari Marxisme, namun teori ini tidak sama dengan Neo-Marxisme. Meski dikatakan sebagai turunan dari Marxisme, Teori Kritis hanya mengambil unsur emansipasi atau kebebasan dari Marxisme, tidak seperti Neo-Marxisme, yang di dalamnya masih banyak terdapat unsur-unsur Marxisme. Beberapa perbedaan antara Teori Kritis dengan Neo-Marxisme, yang pertama, Neo-Marxisme hanya berfokus seputar kapitalisme, ekonomi, dan produksi. Sedangkan Teori Kritis berfokus pada semua aspek. Kedua, sama seperti Marxisme, Neo-Marisme masih bersifat tradisionalis, sedangkan Teori Kritis bersifat scientific.
            Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa Teori Kritis mengambil unsur emansipasi dari Marxisme, yang kemudian dijadikan asumsi utama dari teori ini. Asumsi-asumsi dasar dari teori ini, beberapa di antaranya dipengaruhi oleh unsur emansipasi tersebut. Asumsi dasar pertama, manusia bersifat tidak bisa dihalangi oleh negara. Negara banyak bersifat abuse, atau penyalahgunaan. Penyalahgunaan di sini maksudnya, menurut Teori Kritis, negara sering menyalahgunakan tenaga rakyatnya untuk kepentingan negara itu sendiri. Maka dari itu, mereka harus mempunyai kekuatan untuk melawan negara. Kedua, Teori Kritis menentang bahwa topik utama dalam hubungan internasional hanyalah pencarian kekuasaan. Masih banyak isu-isu lain yang juga penting. Ketiga, para penganut teori ini menentang adanya pemisahan subjek dan objek dalam suatu penelitian ilmiah. Menurut mereka, subjek atau orang yang meneliti, juga merupakan bagian dari penelitian itu, sama dengan objek.
            Ternyata, selain mengkritik teori dan perspektif lain, Teori Kritis ini juga mendapat banyak kritikan dari perspektif lain. Karena fokusnya kepada emansipasi, hal ini berarti teori ini berfokus pada individu dan komunitas atau group society. Inilah yang memunculkan beberapa kritik, karena teori ini tidak memperhatikan adanya cross society. Selain itu, Teori Kritis hanya bisa mengkritik teori dan perspektif lain, namun tidak bisa menjadi suatu problem solving atau alat pemecah masalah yang muncul dalam berbagai isu di hubungan internasional.



Referensi :

Wardhani, Baiq. “Teori Hubungan Internasional : Critical Theory dan Frankfurt School.” dalam kuliah Teori Hubungan Internasional. Universitas Airlangga, Surabaya. 12 April 2012.
Jackson, Robert, dan Georg Sorensen, 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional   (terj. Dadan Suryadipura, Introduction to International Relations). Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
http://mentari_rasfi-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-48853-Theories%20of%20International%20Relations-Critical%20Theory%20%20Frankfurt%20School%20of%20Thought.html