Critical
Theory atau Teori Kritis bisa dibilang merupakan teori yang baru dalam ilmu
Hubungan Internasional dibandingkan dengan teori-teori lain. Teori Kritis
sebenarnya bukan lahir dari ilmu Hubungan Internasional, melainkan dari ilmu
Sosiologi dan merupakan perkembangan dari Marxisme. Teori ini baru memasuki
ranah HI pada sekitar tahun 1980-an. Teori ini dikembangkan dari pemikiran
sekelompok ilmuwan Jerman, yang disebut Frankfurt School. Disebut Teori Kritis,
karena metode yang digunakan dalam teori ini adalah reflektif, yaitu mengkritik
terus menerus. Meski begitu, teori ini bukan merupakan suatu problem solving
atau alat pemecah masalah seperti Rasionalisme. Selain itu, teori ini juga
disebut-sebut sebagai pendobrak tradisi lama, mendobrak kemapanan
perspektif-perspektif tradisionalis, seperti Realisme, Liberalisme, dan
Marxisme. Kemunculan teori ini kemudian mendorong lahirnya banyak teori-teori
baru yang belum pernah ada sebelumnya, seperti Feminisme, Green Theory, dan
lain-lain.
Seperti
yang telah disebutkan di atas bahwa Teori Kritis merupakan perkembangan dari
Marxisme, namun teori ini tidak sama dengan Neo-Marxisme. Meski dikatakan
sebagai turunan dari Marxisme, Teori Kritis hanya mengambil unsur emansipasi
atau kebebasan dari Marxisme, tidak seperti Neo-Marxisme, yang di dalamnya
masih banyak terdapat unsur-unsur Marxisme. Beberapa perbedaan antara Teori
Kritis dengan Neo-Marxisme, yang pertama, Neo-Marxisme hanya berfokus seputar
kapitalisme, ekonomi, dan produksi. Sedangkan Teori Kritis berfokus pada semua
aspek. Kedua, sama seperti Marxisme, Neo-Marisme masih bersifat tradisionalis,
sedangkan Teori Kritis bersifat scientific.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa Teori Kritis mengambil
unsur emansipasi dari Marxisme, yang kemudian dijadikan asumsi utama dari teori
ini. Asumsi-asumsi dasar dari teori ini, beberapa di antaranya dipengaruhi oleh
unsur emansipasi tersebut. Asumsi dasar pertama, manusia bersifat tidak bisa
dihalangi oleh negara. Negara banyak bersifat abuse, atau penyalahgunaan. Penyalahgunaan
di sini maksudnya, menurut Teori Kritis, negara sering menyalahgunakan tenaga
rakyatnya untuk kepentingan negara itu sendiri. Maka dari itu, mereka harus
mempunyai kekuatan untuk melawan negara. Kedua, Teori Kritis menentang bahwa
topik utama dalam hubungan internasional hanyalah pencarian kekuasaan. Masih
banyak isu-isu lain yang juga penting. Ketiga, para penganut teori ini
menentang adanya pemisahan subjek dan objek dalam suatu penelitian ilmiah.
Menurut mereka, subjek atau orang yang meneliti, juga merupakan bagian dari
penelitian itu, sama dengan objek.
Ternyata,
selain mengkritik teori dan perspektif lain, Teori Kritis ini juga mendapat
banyak kritikan dari perspektif lain. Karena fokusnya kepada emansipasi, hal
ini berarti teori ini berfokus pada individu dan komunitas atau group society.
Inilah yang memunculkan beberapa kritik, karena teori ini tidak memperhatikan
adanya cross society. Selain itu, Teori Kritis hanya bisa mengkritik teori dan
perspektif lain, namun tidak bisa menjadi suatu problem solving atau alat
pemecah masalah yang muncul dalam berbagai isu di hubungan internasional.
Referensi :
Wardhani, Baiq. “Teori Hubungan Internasional : Critical
Theory dan Frankfurt School.” dalam kuliah Teori Hubungan Internasional.
Universitas Airlangga, Surabaya. 12 April 2012.
Jackson, Robert, dan Georg Sorensen, 2005. Pengantar Studi
Hubungan Internasional (terj. Dadan
Suryadipura, Introduction to International Relations). Jogjakarta: Pustaka
Pelajar.
http://mentari_rasfi-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-48853-Theories%20of%20International%20Relations-Critical%20Theory%20%20Frankfurt%20School%20of%20Thought.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar