Selasa, 30 Oktober 2012

Critical Theory - Frankfurt School of Thought

Critical Theory atau Teori Kritis bisa dibilang merupakan teori yang baru dalam ilmu Hubungan Internasional dibandingkan dengan teori-teori lain. Teori Kritis sebenarnya bukan lahir dari ilmu Hubungan Internasional, melainkan dari ilmu Sosiologi dan merupakan perkembangan dari Marxisme. Teori ini baru memasuki ranah HI pada sekitar tahun 1980-an. Teori ini dikembangkan dari pemikiran sekelompok ilmuwan Jerman, yang disebut Frankfurt School. Disebut Teori Kritis, karena metode yang digunakan dalam teori ini adalah reflektif, yaitu mengkritik terus menerus. Meski begitu, teori ini bukan merupakan suatu problem solving atau alat pemecah masalah seperti Rasionalisme. Selain itu, teori ini juga disebut-sebut sebagai pendobrak tradisi lama, mendobrak kemapanan perspektif-perspektif tradisionalis, seperti Realisme, Liberalisme, dan Marxisme. Kemunculan teori ini kemudian mendorong lahirnya banyak teori-teori baru yang belum pernah ada sebelumnya, seperti Feminisme, Green Theory, dan lain-lain.
            Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa Teori Kritis merupakan perkembangan dari Marxisme, namun teori ini tidak sama dengan Neo-Marxisme. Meski dikatakan sebagai turunan dari Marxisme, Teori Kritis hanya mengambil unsur emansipasi atau kebebasan dari Marxisme, tidak seperti Neo-Marxisme, yang di dalamnya masih banyak terdapat unsur-unsur Marxisme. Beberapa perbedaan antara Teori Kritis dengan Neo-Marxisme, yang pertama, Neo-Marxisme hanya berfokus seputar kapitalisme, ekonomi, dan produksi. Sedangkan Teori Kritis berfokus pada semua aspek. Kedua, sama seperti Marxisme, Neo-Marisme masih bersifat tradisionalis, sedangkan Teori Kritis bersifat scientific.
            Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa Teori Kritis mengambil unsur emansipasi dari Marxisme, yang kemudian dijadikan asumsi utama dari teori ini. Asumsi-asumsi dasar dari teori ini, beberapa di antaranya dipengaruhi oleh unsur emansipasi tersebut. Asumsi dasar pertama, manusia bersifat tidak bisa dihalangi oleh negara. Negara banyak bersifat abuse, atau penyalahgunaan. Penyalahgunaan di sini maksudnya, menurut Teori Kritis, negara sering menyalahgunakan tenaga rakyatnya untuk kepentingan negara itu sendiri. Maka dari itu, mereka harus mempunyai kekuatan untuk melawan negara. Kedua, Teori Kritis menentang bahwa topik utama dalam hubungan internasional hanyalah pencarian kekuasaan. Masih banyak isu-isu lain yang juga penting. Ketiga, para penganut teori ini menentang adanya pemisahan subjek dan objek dalam suatu penelitian ilmiah. Menurut mereka, subjek atau orang yang meneliti, juga merupakan bagian dari penelitian itu, sama dengan objek.
            Ternyata, selain mengkritik teori dan perspektif lain, Teori Kritis ini juga mendapat banyak kritikan dari perspektif lain. Karena fokusnya kepada emansipasi, hal ini berarti teori ini berfokus pada individu dan komunitas atau group society. Inilah yang memunculkan beberapa kritik, karena teori ini tidak memperhatikan adanya cross society. Selain itu, Teori Kritis hanya bisa mengkritik teori dan perspektif lain, namun tidak bisa menjadi suatu problem solving atau alat pemecah masalah yang muncul dalam berbagai isu di hubungan internasional.



Referensi :

Wardhani, Baiq. “Teori Hubungan Internasional : Critical Theory dan Frankfurt School.” dalam kuliah Teori Hubungan Internasional. Universitas Airlangga, Surabaya. 12 April 2012.
Jackson, Robert, dan Georg Sorensen, 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional   (terj. Dadan Suryadipura, Introduction to International Relations). Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
http://mentari_rasfi-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-48853-Theories%20of%20International%20Relations-Critical%20Theory%20%20Frankfurt%20School%20of%20Thought.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar