Minggu, 09 Desember 2012

Hubungan Internasional : Awal Mula Kajian Keamanan Non-Tradisional

Isu keamanan non-tradisional mulai mengemuka pada akhir dekade 1990-an ketika sekelompok pakar yang dikenal dengan sebutan " The Copenhagen School " seperti Barry Buzan. Ole Waever dan Jaap de Wilde mencoba memasukkan aspek aspek diluar hirauan tradisional kajian keamanan - seperti misalnya masalah kerawanan pangan, kemiskinan, kesehatan, lingkungan hidup, perdagangan manusia, terorisme, bencana alam dan sebagainya Sebagai bagian dari studi keamanan. Ddengan memasukkan hal hal tersebut kedalam lingkup kajian keamanan, maka The Copenhagen School mencoba memperluas obyek rujukan isu keamanan dengan tidak lagi berbicara melulu keamanan "negara", tetapi juga menyangkut keamanan "manusia". Pandangan ini mengemuka sejak berakhirnya perang dingin yang ditandai dengan penurunan ancaman militer terhadap kedaulatan suatu negara, tetapi pada saat yang sama adanya peningkatan ancaman terhadap eksistensi manusia pada aspek aspek lain seperti kemiskinan, penyakit menular, bencana alam, kerusakan lingkungan hidup, terorisme dan sebagainya.

Kepedulian terhadap "keamanan manusia" ( Human Security ) semakin meningkat, terutama setelah laporan tahunan UNDP, Human Development Report 1994, Mencoba untuk mengetengahkan 7 dimensi yang patut dijadikan bahan pertimbangan untuk menciptakan " Keamanan Manusia "  yang mencakup :

1. Keamanan Ekonomi
2. Keamanan Pangan
3. Keamanan Kesehatan
4. Keamanan Lingkungan
5. Keamanan Individu
6. Keamanan Komunitas dan 7. Keamanan Politik.

Sejak saat itu perhatian terhadap isu keamanan manusia mulai melanda tidak saja para pakar tetapi pembuat keputusan. Berbagai tragedi kemanusiaan dalam beberapa dekade terakhir ini sejak dari bencana kelaparan di Ethiopia dan Somalia, pembersihan etnis di Bosnia dan Rwanda, gempa bumi di Iran, Turki dan Yogyakarta serta Tsunami di Aceh, hingga ke pelanggaran HAM di Sudan dan banyak tempat lainnya di dunia semakin meningkatkan dorongan untuk lebih memperhatikan keamanan manusia.

Namun demikian, terlepas dari makin besarnya keinginan untuk memasukkan konsep keamanan manusia sebagai agenda kebijakan, hingga saat ini belum ada kesepakatan mengenai bagaimana keamanan manusia itu harus dipahami dan bagaimana pula aplikasi konsep tersebut didalam politik praktis. Pemerintah Kanada, misalnya menerapkan suatu standar yang tinggi sekaligus kontroversial tentang penerapan konsep keamanan manusia dengan mensyaratkan adanya hak untuk melakukan " Intervensi Kemanusiaan " bagi siapapun ( negara adi kuasa, PBB maupun asosiasi atau aliansi negara-negara ) yang melihat adanya pelanggaran kemanusiaan. Intervensi kemanusiaan, menurut aliran pemikiran kanada, bahkan dapat menjustifikasi penggunaan kekerasan terhadap negara lain yang sengaja terbukti melakukan gangguan terhadap keamanan manusia. Sementara itu, pemerintah Jepang memberikan interpretasi yang lebih moderat tentang keamanan manusia dengan menyatakan bahwa upaya untuk melakukan perlindungan terhadap keamanan manusia harus memperhatikan sensitivitas terhadap negara. Maka, suatu intervensi kemanusiaan dapat dilakukan apabila mendapat dukungan mayoritas anggota komunitas internasional dan mendapat persetujuan dari pemerintah setempat.

Ekstensi konsep keamanan yang melibatkan unsur unsur non-tradisional seperti kemiskinan, bencana alam,penyakit menular,perdagangan manusia, perdagangan senjata ilegal,perdagangan narkoba, kerusakan lingkungan hidup, dan lain lain, telah membawa konsekuensi tersendiri bagi studi HI. Kebutuhan untuk menyentuh isu isu keamanan non-tradisional semakin memperkuat kebutuhan untuk memperhatikan aktor-aktor non-negara. Sebagaimana pernah saya katakan pada tulisan lain didalam konteks sekuritisasi, bahwa :
     The securitization of poverty has raised demand from non-state actors (NGOs) to be treated as a legitimate agencies in dealing with non-traditional issues. It posses a challenge as to the extent that the current security literature can accept the fact that NGOs can play an ipmortant role in providing security to a particular referent object, that is, the marginalized or the neglected.. As far as NGOs are concerned, the olution to poverty as a human security issue should lie beyond thestate boundaries,especially in the case of problematic or failed state   

Dengan demikian tampak bahwa perluasan jangkauan studi keamanan telah mendorong lembaga lembaga non-negara untuk ikut berperan dalam bidang bidang keamanan non-tradisional. Dalam keadaan tertentu, misalnya, Non Governmental-Organizations (NGOs) dapat melakukan sekuritisasi terhadap suatu isu (kerusakan lingkungan hidup, kemiskinan yang mengancam keamanan manusia, pelanggaran hak azasi manusia, dan sebagainya). Tetapi pada saat lain, organisasi non-pemerintah justru bertindak sebagai agen yang ikut memberikan solusi bagi berbagai masalah keamanan manusia, terutama negara tidak mampu lagi melakukan hal-hal tersebut. Sebagai contoh, Amnesti Internasional banyak berperan dalam menginvestigasi pelanggaran HAM terhadap penduduk sipil yang melibatkan pasukan pemberontak maupun pemerintah di negara-negara yang dilanda konflik internal seperti Ethiopia, Sudan, Sierra leone, Liberia dan sebagainya.


Sumber : Sugeng Hadiwinata, Bob Transformasi isu dan aktor didalam studi hubungan internasional : dari realisme hingg konstruktivisme. Transformasi dalam studi Hubungan Internasional : Aktor, isu dan Metodologi. Graha ilmu, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar