Setelah
liberalisme dan realisme, ada satu lagi perspektif yang terkenal dan cukup
berpengaruh, tidak hanya dalam Hubungan Internasional, namun dalam ilmu-ilmu
sosial lain, yaitu Marxisme. Perspektif marxisme diambil dari nama pencetusnya,
yaitu Karl Marx, seorang filsuf Jerman penganut sosialis. Tujuan utama dari
perspektif ini yaitu penghapusan kelas-kelas dalam kehidupan masyarakat. Dengan
tidak adanya kelas, maka kesenjangan hidup antara kaum proletar dengan kaum
borjuis akan berkurang. Namun, hal ini menyebabkan keraguan timbul di kalangan
pemikir lain. Apakah kelas bisa dihilangkan seutuhnya? Hingga saat ini pun
kelas-kelas itu masih ada. Bahkan, dalam hubungan internasional, kelas masih
sangat terlihat, terbukti dengan dominasi negara-negara borjuis dalam interaksi
internasional. Maksud dari marxisme memang ingin menggerakkan suatu revolusi di
mana kelas-kelas dihilangkan seutuhnya, namun para kaum marxis tidak mampu
menjelaskan apa yang akan terjadi setelah revolusi itu muncul.
Perspektif
Marxisme muncul pada sekitar abad ke 19. Hal ini berawal dari pemikiran Karl
Marx dan Friedrich Engels bahwa masalah-masalah sosial yang timbul di
masyarakat sebagian besar diakibatkan oleh adanya sistem kapitalisme. Dalam
kapitalisme, masyarakat dibagi ke dalam dua kelas, yaitu kelas borjuis (yang
memiliki alat produksi atau orang kaya) dan kaum proletar (yang tidak memiliki
alat produksi atau orang miskin). Karena jumlah kaum proletar jauh lebih banyak
daripada kaum borjuis, maka kaum borjuis memanfaatkan ini untuk mengeksploitasi
kaum proletar dengan mempekerjakan mereka dengan upah yang minim. Hal ini
membuat Marx memandang manusia itu matrealistis, namun selama made of
production itu selalu ada, maka penghapusan kelas akan menjadi sesuatu yang
sulit.
Berbeda
dengan perspektif sebelumnya, realisme dan liberalisme yang terpusat pada power
dan national interest, marxisme hanya berfokus pada ekonomi, aspek material,
dan kesetaraan kelas. Karena perhatiannya pada kesetaraan kelas itulah yang
kemudian mendorong Marx untuk menulis buku yang berjudul Des Capital sebagai
kritik terhadap kesenjangan sosial yang ditimbulkan oleh kapitalisme.
Kemudian,
strukturalisme atau neo-marsime, muncul sebagai pembaharuan dari marxisme.
Strukturalisme mengkritik kaum marxis yang terlalu utopis, mereka sangat
menginginkan kelas-kelas yang ada dalam masyarakat dihilangkan, meski itu
hampir mustahil untuk diwujudkan. Selain itu, kelemahan marxisme adalah
penekanan masalahnya hanya terbatas pada dunia domestik, bukan internasional.
Namun meski begitu, strukturalisme tetap berbasis pada pemikiran-pemikiran
dasar marxisme.
Referensi :
1. Dugis, Vinsensio. “Teori Hubungan Internasional : Perdebatan
Neo-Liberalisme dengan Neo-Realisme.” dalam kuliah Teori Hubungan
Internasional. Universitas Airlangga, Surabaya. 22 Maret 2012.
2. Jackson, Robert, dan Georg Sorensen, 2005. Pengantar Studi
Hubungan Internasional (terj. Dadan
Suryadipura, Introduction to International Relations). Jogjakarta: Pustaka
Pelajar.
3. http://mentari_rasfi-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-48851-Theories%20of%20International%20Relations-Marxisme%20dan%20Strukturalisme%20Dalam%20Teori%20Hubungan%20Internasional.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar