Rabu, 05 Desember 2012

Sejarah Studi Hubungan Internasional : Dari Filsafat-Hukum hingga ke Politik Ekonomi dan Sosiologi

Pada awal perkembangan studi HI, ekspansi eropa dan kebutuhan untuk mengkodifikasikan tatanan hubungan antar-negara ( yang kemudian melahirkan Treaty Westphalia pada tahun 1648 dan Treaty Utrecht pada tahun 1713 ) membuat HI lebih dekat pada ilmu hukum. Maka, teks HI yang sangat berpengaruh pada waktu itu adalah tulisan Jeremy Bentham berjudul Principles of Morals and Legislations (1794) yang menekankan pada prinsip utilitarianisme, yakni keyakinan bahwa akal sehat akan menuntun manusia untuk mengembangkan moralitas yang baik untuk patuh kepada ketentuan dan aturan yang berlaku.

ketakutan akan akbita perang dan dorongan untuk menghentikan segala bentuk konflik dan kekerasan telah mendekatkan disiplin HI dengan Filsafat hukum. Karya pemikir filsafat hukum internasional Hugo Grotius berjudul De Jurre Belli Ac Pacis ( Mengenai hukum peperangan dan perdamaian ) yang menolak peperangan untuk alasan apapun- sangat mempengaruhi paradigma HI tentang pentingnya kerjasama internasional. Teks lain yang juga sangat berpengaruh adalah karya pemikir filsafat Immanuel Kant berjudul Perpetual Peace ( 1782 ) yang menggarisbawahi pandngan Grotius bahwa perang dengan alasan apapun harus dihindari, karena hanya dengan cara itulah perdamaian abadi dapat ditegakkan. Sekalipun, Kant tidak menggunakan istilah " Internasional " didalam karya-karyanya, dia mencoba mengartikulasikan konsep perdamaian dunia dengan mendorong negara-negara untuk mensubordinasikan kedaulatan mereka dibawah kekuasaan " Pemerintah dunia ". Gagasan ini menempatkan Immanuel Kant sebagai salah satu pelopor aliran pemikiran idealisme atau utopianisme. Pemikiran Kant ini menginspirasi para pemimpin dunia pada awal abad ke 20 untuk mendirikan Liga Bangsa Bangsa ( League of Nations atau LBB ) demi untuk mewujudkan perdamaian abadi.

Kegagalan LBB memunculkan berbagai kritik dan bahkan kutukan terhadap idealisme. Para pengkritik idealisme menyayangkan bahwa retorika perdamaian yang dikemukakan oleh para pengikut Kant gagal memahami kenyataan bahwa hubungan internasional pada dasarnya adalah perebutan kekuasaan. Maka, Studi HI pun mulai dipengauhi oleh ilmu politik yang banyak bicara tentang perebutan kekuasaan, pencapaian kepentingan, bagaimana agar dapat mempengaruhi pihak lain, dan sebagainya. secara metodologis pun, disiplin HI mulai melengkapi diri tidak saja dengan analisis historis dan diskursif, melainkan juga ikut dipengaruhi oleh "Positivisme" dan "Behaviouralisme" yang menekankan pada pembentukan dan pengujian teori dalam rangka saintifikasi (pengilmiahan) ilmu sosial. Sebagaimana pernah dikatakan Edward Hallet Carr: Fakta ( di dalam studi HI ) tidak lebih dari sebuah kantong yang tidak akan pernah berdiri tegak kecualijika kita meletakan sesuatu di dalamnya. Adalah kerangka teoritis yang dapat membuat fakta-fakta dalam disiplin HI " berbunyi" dan "mengandung makna".

Sejak Sekitar dekade 1940-an, mazhab realisme ( yang sangat dipengaruhi oleh ilmu politik ) mulai menunjukan pengaruhnya. Karya Hans Morgenthau berjudul " The Politics Among Nations: The Struggle for Power And Peace (1948) merupakan referensi utama studi HI pada saat itu. Dalam karyanya itu Morgenthau mempersoalkan Immanuel Kant dan para pemikir HI yang pada umumnya telah gagal memahami "realitas" di dalam hubungan antar negara yang penuh dengan ambisi manusia untuk berperang dan menguasai orang lain. Morgenthau memulai dengan mendefinisikan "kekuasaa" sebagai hakikat manusia untuk mengontrol pikiran dan perbuatan orang lain. Tingkah laku negara menurut dia, merefleksikan perilaku individu, yakni upaya untuk memaksimalisasi pencapaian kepentingan nasional. Sejaland engan pemikiran Nicollo Machiavelli dan Thomas Hobbes yang meyakini bahwa hakikat manusiapada dasarnya adalah agresif-Morgenthau menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk menciptakan perdamaian dalam situasi semacam itu adalah membuat negara- negara bersiap-siap untuk brperang. Kesiapan untukberperang menimbulkan efek menakuti ( Deterence), sehingga dapat mengurungkan niat suatu negara untuk memulai serangan. Dengan demikian, perdamainan pun akan tercapai. Sejak saat itu, Realisme mendominasi studi HI dan semakin mendorong HI pada studi tentang diplomasi dan isu strategis-militer.

Pada dekade 1970-an, sejumlah pakar HI mulai memikirkan bagaimana negara-negara ( yang selalu didorong nafsu berperang) pada waktu yang sama tetap berkeinginan untuk melakukan kerjasama dengan negara lain. Robert Keohane dan Joseph Nye mengedit sebuah buku berjudul Transnational Relations and World Politics (1972) yang mencoba untuk menggambarkan bagaimana saling ketergantungan di bidang ekonomi telah endorong negara-negara untuk tetap menjalin kerjasama. Beberapa waktu kemudian, Robert Giplin menulis sebuah karya berjudul U.S Power and The Multinational Corporation (1975) yang mencoba untuk mengidentifikasi keberadaan-keberadaan perusahaan multinasional sebagai pelaku penting dalam mendorong negara-negara untuk terlibat dalam kerjasama ekonomi.

Melalui aktivitas perusahaan-perusahaan mutinasional, modal, barang dan jasa dapat saling dipertukarkan melewatibatas-batas negara dalam waktu relatif singkat. Sejak saat itu Ilmu Ekonomi mulai mempengaruhi studi HI dan di berbagai universitas terkemuka seperti Harvard University, Princeton University, Cambridge University, Oxford University dan The London School of Economics and Political Science mulai ditawarkan mata kuliah bernama International Political Economy ( Politik Ekonomi Internasional ). Literatur untuk mata kuliah inipun semakin lengkap dengan munculnya tulisan Robert Giplin berjudul The political Economy of International Relations (1987), buku Susan Strange berjudul  States and Markets : An Introduction to International Political Economy (1989), dan masih banyak lagi yang lainnya. Hingga saat ini, mata kuliah Politik Ekonomi Internasional merupakan matakuliah wajib setidaknya di beberapa jurusan HI di Indonesia.

Disiplin Sosiologi cenderung mempengaruhi dari sisi konsep dan teori. Tidak sedikit peneliti HI yang berupaya untuk memperkaya diri dengan konsep dan teori untuk menjelaskan suatu fenomena dan fakta HI melalui pengalaman studi literatur dan meminjam dari konsep dan teori Sosiologi. Sebagai contoh, dalam upaya untuk melihat karakter pemimpin suatu negara, beberapa peneliti HI meminjam Konsep "Pemimpin Karismatik" sosiolog Max Webber. Dalam kasus lain, seorang peneliti HI dapat saja meminjam konsep Emile Durkheim tentang "Ekstrimisme Agama" dalam upayanya untuk memahami konflik agama. disiplin lain seperti Anthropologi juga dapat membantu HI dengan cara ini. Seorang peneliti HI yang mencoba untuk memahami peran identitas etnis dalam mendorong pecahnya konflik kekerasan di daerah-daerah tertentu dapat meminjam konsep Antropologi tentang Ethnonationalism ( Nasionalisme Etnis ) atau Nasionalisme.

Melihat berbagai kemungkinan tersebut, maka tidak mengehrankan jika ada beberapa kalangan yang melihat HI sebagai suatu ilmu yang interdisiplinear bahkan multi-disiplinear. Terlepas dari apakah HI adalah ilmu yang Interdisiplinear atau bukan, harus ada semacam kesepakatan tentang isu-isu apa saja yang dewasa ini dapat dikategorikan sebagai bagian dari disiplin HI.

Sumber : Sugeng Hadiwinata, Bob Transformasi isu dan aktor didalam studi hubungan internasional : dari realisme hingg konstruktivisme. Transformasi dalam studi Hubungan Internasional : Aktor, isu dan Metodologi. Graha ilmu, 2007



1 komentar:

  1. Terima kasih Kang Johnson atas selayang pandang perkembangan Studi Hubungan Internasional ini.

    Saya ingin bertanya dua hal, berkenaan dengan istilah 'studi' di sini. Sering kita menemukan perbedaan antaruniversitas dalam memanggil HI ini, apakah sebagai 'ilmu' atau sebagai 'studi'. Adakah hal yang berbeda secara mendasar di sini menurut Johnson?

    Kemudian, banyak klaim bahwa HI adalah anak Ilmu Politik. Bagaimana hubungannya dengan penjelasan kesejarahan HI versi Johnson ini yang mematok Filsafat Hukum sebagai benih, bukan Filsafat Politik?

    BalasHapus